Sekolah Tatap Muka, Siapkah?

Kids

fiaindriokusumo・26 Nov 2020

detail-thumb

Sekolah tatap muka wacananya akan diadakan di awal tahun 2021, orangtua masih terpecah antara yang setuju dan yang tidak, bagaimana dengan Anda?

Tanggal 20 November 2021 lalu, melalui pengumuman Keputusan Bersama Empat Menteri, yang ditayangkan di Youtube Kemendikbud RI, pemerintah akhirnya mengambil langkah, mengizinkan kegiatan belajar di sekolah, dengan memperhatikan protokol kesehatan dan antisipasi kesiapan dari Pemda, agar tatap muka tidak menjadi kluster baru.

Sebelumnya, Pemda (dalam hal ini Dinas Pendidikan) juga sudah mengeluarkan edaran tentang Protokol Pencegahan Corona di Sekolah dan Institusi Pendidikan. Berisi pedoman bagi sekolah, apa saja yang harus disiapkan oleh sekolah. Antara lain, check list yang harus dipenuhi sekolah, pengaturan tata letak ruangan, prosedur pemantauan dan pelaporan kesehatan, proses yang harus dipenuhi saat tatap muka, dan sebagainya. Pemerintah telah mengatur persiapan dari sisi sekolah. Sementara itu, dari sisi orangtua, apa yang harus disiapkan?

Solusi Adaptif

Merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ronald Heifetz and Marty Linsky di Harvard Business Review, di dalam menyelesaikan masalah ada 2 pilihan solusi, yakni solusi teknis dan solusi adaptif. Checklist yang harus dilakukan anak, seperti menggunakan masker, cuci tangan, menyiapkan bekal, tidak meminjam peralatan milik orang lain, tidak melakukan kontak fisik dengan teman atau guru, lalu menjaga jarak 1,5 meter dari orang lain, adalah solusi teknis. Tantangannya, bagaimana mengubah solusi teknis itu menjadi solusi adaptif. Solusi adaptif adalah tentang mengubah budaya dan kebiasaan. Bagaimana hal-hal teknis itu dilatihkan ke anak menjadi penanaman kebiasaan, sehingga tanpa ada yang mengawasi dan menyuruh-nyuruh, anak sudah punya kesadaran sendiri untuk melakukan protokol kesehatan.

Setiap usia tentu ada tantangannya masing-masing. Anak-anak dari kelas kecil, SD ke bawah, akan lebih sulit melatihkannya. Perlu ada simulasi yang diulang-ulang dan orangtua maupun guru memberikan contoh. Untuk anak seusia SMP dan SMA, tantangannya lebih ke komunikasi dan edukasi.

Faktor Kenyamanan

Perubahan memang tidak pernah nyaman. Dari awal sekolah switch ke PJJ, kita semua kaget dan kelabakan. Tidak ada yang siap. PJJ ini awalnya sangat tidak nyaman (mungkin masih sampai sekarang), tapi lama kelamaan kita mulai menemukan titik keseimbangan dan terbiasa dengan (ketidaknyamanan) PJJ. Lalu, ketika sekarang pemerintah mengizinkan sekolah buka kembali, keseimbangan kita kembali terganggu. Antara lega, tapi sekaligus bete, memikirkan segala keribetan baru, antar jemput, persiapan berangkat, persiapan bekal makanan, baju ganti, masker ganti, hand sanitizer, dan sebagainya.

Perlu dipikirkan juga kenyamanan untuk anak, terlebih lagi, dengan diberlakukannya protokol kesehatan yang ketat, kebebasan anak untuk bermain dan ngobrol dengan teman-temannya akan sangat dibatasi. Belum lagi, sepanjang hari anak harus mengenakan masker tiga lapis.

Kesiapan Blended Learning

Setelah PJJ, persekolahan akan memasuki fase pembelajaran campuran atau blended learning atau hybrid learning. Waktu belajar tidak akan sepanjang sekolah normal. Aktivitas fisik juga masih sangat dibatasi, kegiatan ekstra kurikuler dan olahraga belum diperbolehkan. Ruang kelas hanya boleh diisi separuh dari kapasitas. Berlaku sistem masuk bergiliran. Selebihnya, sekolah masih dilangsungkan secara virtual. Digital masih akan menjadi kanal utama dalam proses persekolahan. Kegiatan tatap muka hanya bersifat tambahan dan pelengkap.

Faktor Keamanan

Mendikbud Nadiem mengatakan, keputusan akhir untuk mengirim anak ke sekolah atau tidak ada di tangan orangtua. Ada banyak alasan yang sangat bisa dipahami apabila orangtua belum merasa aman. Alasan pertama, bisa jadi anak punya kondisi kesehatan atau kebutuhan khusus, orangtua bisa memilih opsi full PJJ. Alasan lain, apabila di rumah ada keluarga yang punya komorbid (penyakit penyerta) yang rentan. Ketiga, anak yang harus menggunakan transportasi umum ke sekolah, juga bisa menjadi alasan keamanan. Keempat, update informasi dan perkembangan situasi di sekolah, bisa menjadi bahan pertimbangan bagi orangtua.

Mengubah Mindset

Saat persekolahan tatap muka dimulai, sadari bahwa kita tidak mungkin kembali ke era pembelajaran konvensional seperti sebelum wabah. Pengalaman selama pandemi ini perlu dijadikan pelajaran dan bahan renungan, agar kita memikirkan ulang tentang esensi pendidikan dan merumuskan ulang tujuan pendidikan di keluarga. Teknologi telah mengajarkan kita bahwa kita tidak bisa lagi mengabaikan teknologi. Pendidikan sebagai transfer pengetahuan bisa didapatkan dari teknologi. Pilihan kita untuk mengirim anak ke sekolah hendaknya sudah didasari pada kesadaran dan cara pandang yang baru tentang esensi pendidikan dan visi yang hendak dicapai.

Baca juga:

Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Anak

Trend Pendidikan Masa Kini, Sejauh Mana Kita Mengikutinya?