Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sering Pura-pura Tersenyum Bahagia Setiap Hari, Kenapa Tidak?
Kita semua pasti pernah melakukannya, memasang senyum bahagia palsu di hadapan orang lain, meski hati ini sedang luka parah berdarah-darah. Salahkah?
Semua pasti sering mendengar ungkapan “Jadilah dirimu sendiri”. Dalam penerapan sehari-hari, sesungguhnya kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri. Tidak percaya? Ambil contoh, kita tidak selalu happy setiap hari. Mood kita kadang roller coaster naik turun. Saat sedang bete atau kesal, lalu kita harus ketemu klien di kantor atau menghadap bos, tentunya kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri yang sedang bete. Contoh lain, satu waktu kita sedang stres berat, anak ngajak main, kita akan simpan sejenak stres kita, untuk kemudian ‘pura-pura’ fun di depan anak. Atau, saat sedang galau dan curhat dengan teman, eh lalu diajak selfie, kita auto tersenyum lebar di depan kamera, pura-pura bahagia.
Baca juga: Jerat The Hustle Culture yang Menghancurkan Hidup Kita Tanpa Sadar
Ada satu istilah dalam psikologi untuk menyebut orang yang lebih memilih menyembunyikan kesedihannya di balik senyum, yakni eccedentesiast. Walaupun sedang sedih, ia selalu tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kata ini memang jarang digunakan. Asal katanya, dari bahasa Latin, Ecce (aku mempersembahkan kepadamu), Dentes (gigi atau senyum yang menampakkan gigi), dan Iast (penampil/penghibur). Kita semua pasti pernah melakukannya, menjadi eccedentesiast, entah sadar atau tidak.
Senyum karena tuntutan pekerjaan
Senyum untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain, bagian dari norma sosial dan keramahan, atau demi menyenangkan orang lain. Sebagian orang, karena profesinya, terlihat tidak pernah lepas dari senyum. Misalnya, badut. Dia malah bukan senyum lagi, tapi ketawa lepas. Lalu, seleb yang berlenggak-lenggok di karpet merah, menebar senyum lebar. Selain itu, kita jumpai juga PR, dokter, politikus, pejabat, sales, guru TK, dan banyak lagi. Beberapa orang beken punya senyum yang khas dan legend, seperti Duchess of Cambridge alias Kate Middleton dan Barrack Obama, selalu menampilkan deretan giginya yang rapi. Hayo, pernah nggak mereka terlihat manyun di depan publik? Pasti sudah langsung viral dan habis reputasinya, kalau mereka ‘kelepasan’ ngamuk di depan orang. Apakah mereka nggak pernah bersedih, stres, dan punya masalah?
Senyum sebagai terapi stres
Dalam sebuah studi yang terbit di Psychological Science, dua psikolog dari University of Kansas meneliti manfaat senyum sebagai terapi dan obat yang mujarab bagi stres. Terutama, jenis senyuman Duchenne, yang melibatkan otot-otot yang mengelilingi mulut dan mata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tersenyum dapat memengaruhi kondisi fisik kita. Responden yang tersenyum Duchenne, memiliki tingkat detak jantung yang lebih rendah setelah pulih dari aktivitas yang membuat stres. Tersenyum -yang fake sekalipun- dapat membantu mengurangi intensitas respons stres tubuh, terlepas dari apakah seseorang benar-benar merasa bahagia. Nah, coba saja buktikan sendiri, saat sedang di jalan ketemu macet, senyumin aja :p.
Baca juga: DOSE: Semua Tentang Hormon Kebahagiaan
Senyumlah, jika ingin bahagia
Anak-anak adalah makhluk paling bahagia. Kenapa? Sebab mereka murah senyum. Rata-rata, mereka tersenyum 400 kali dalam sehari. Kalau Anda? Coba diingat-ingat, berapa kali dalam sehari Anda tersenyum? Orang dewasa yang bahagia umumnya tersenyum 40-50 kali sehari, sementara rata-rata kita hanya melakukannya 20 kali. Mengapa senyum itu penting? Tersenyum menyebabkan penurunan hormon yang membahayakan tubuh yang dipicu oleh stres. Jadi, jika ingin hidup bahagia, tersenyumlah, sekarang juga, sesering mungkin. Mengutip dari Amy Cuddy, yang videonya di Ted Talk masuk peringkat 25 video terpopuler, tentang bahwa bahasa tubuh sangat memengaruhi kondisi pikiran, dan pikiran memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi hasil. “Our bodies changes our minds, our minds changes our behaviour, and our behaviour changes our outcomes.”
Eccedentesiast tidak sama dengan menekan emosi. Orang yang sering menekan emosi, lama kelamaan ia menjadi baal, tidak bisa lagi mengalami emosi, bahkan jauh setelah peristiwa pemicunya berlalu. Betul bahwa menegasikan emosi negatif juga tidak baik untuk kondisi mental. Tentunya, emosi negatif perlu disalurkan lewat jalur yang tepat, perlu diproses, dirasakan, dan diterima. Misalnya, dengan berefleksi, meluangkan waktu beberapa menit untuk melakukan dialog dengan emosi diri sendiri, menyelami perasaan dan pikiran. Meditasi juga salah satu cara yang bagus untuk menerima dan menyadari berbagai emosi yang kita rasakan. Cara lain, bisa lewat menulis sebagai terapi, curhat ke orang yang dipercaya, atau berkonsultasi dengan ahli.
Baca: Toxic Positivity, Berpikir Positif Tak Selamanya Bermakna Positif
Share Article
COMMENTS