Mommies termasuk yang menghindari makanan dengan gluten? Merasa makanan gluten free lebih sehat?
Kali ini kita bahas, yuk, mengenai gluten dan apa manfaatnya. Siapa saja yang boleh, dan siapa saja yang sebaiknya menghindari gluten. Dan kenapa gerakan makanan gluten free menjadi marak saat ini. Tri Mutiara Ramdani S.Gz, M.Sc , yang biasa disapa mbak Tara serta anggota dari nutrisionis @dietela.id bakal bantu kita semua memahami salah kaprah soal gluten.
Banyak miskonsepsi bahwa gluten merupakan salah satu tipe karbohidrat. Yang benar adalah gluten merupakan tipe protein yang banyak ditemukan di serealia (grains) seperti gandum-ganduman, barley, oat, dan spesies yang berhubungan. Lebih tepatnya, gluten adalah gabungan protein prolamin dan glutelin.
Gluten berasal dari bahasa latin gluten atau ‘glue’. Sesuai namanya, jika gluten bertemu dengan air, maka akan bersifat seperti perekat. Gluten lah yang membuat adonan pizza bisa merekat walaupun dibentuk tipis-tipis, yang membuat mie telur dan ramen bisa dibentuk sangat panjang dan tipis tanpa terpisah. Gluten juga menangkap karbondioksida yang diproduksi oleh ragi, sehingga membuat roti bisa mengembang.
Selain itu, saus tradisional seperti Japanese Shoyu juga mengandung gluten, lho, (kecuali yang wheat-free). Di segala makanan yang mengandung pati (starch), gluten biasanya terkandung di dalamnya.
Manfaat gluten adalah membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan pastinya lebih menggugah selera karena adanya tekstur khas yang timbul pada makanan akibat adanya gluten. Nah, gluten banyak terkandung di makanan tinggi karbohidrat seperti roti, sereal, dan gandum-ganduman. Makanan ini bukan hanya mengandung gluten, tapi juga karbo, vitamin B kompleks, serta fortifikasi vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh.
Begini, gluten pada dasarnya hanya harus dihindari pada penderita penyakit atau sensitivitas tertentu, seperti
Coeliac Disease
Ini merupakan penyakit autoimun yang membuat sistem imun tubuh menyerang tubuh itu sendiri dan terjadi pada usus halus. Penyakit ini dipicu dari konsumsi gluten dan terjadi penyerangan oleh autoimun pada lambung. Jika terjadi, penderita akan mengalami diare kronis, kejang perut, malabsorpsi, kehilangan selera makan dan gangguan pertumbuhan.
Kondisi ini dialami oleh 1-2% dari populasi umum, tapi banyak kasus dimana coeliac disease ini tidak didiagnosa dan tidak ditangani, sehingga meningkatkan resiko komplikasi, seperti defisiensi zat besi, osteoporosis dan kanker usus hingga kematian. Penanganan dari coeliac disease adalah dengan menghindari sumber gluten, sekecil apapun dalam makanan sepanjang hidupnya.
Sensitivitas Gluten
Kondisi ini terjadi saat seseorang mengalami gejala tertentu setelah mengkonsumsi gluten, namun tidak disertai kolik kronis (non-coeliac gluten sensitivity). Jika ia mengeliminasi gluten dari makanannya, makan gejala seperti nyeri perut, perut bergas dan gerakan usus abnormal (irregular bowel syndrome) hilang seketika. Permasalahannya adalah, tidak ada penanda biologis (tes) yang bisa dilakukan untuk mendeteksi sensitivitas gluten. Jadi, satu-satunya tes yang bisa dilakukan oleh dokter adalah dengan memberikan lalu mengeliminasi gluten dari diet seseorang, dan mengevaluasi reaksinya.
Permasalahan selanjutnya adalah, seringkali gejala dari non-coeliac gluten sensitivity mirip dengan gejala Irritable Bowel Syndrome (IBS) yang jauh lebih umum (10-15% populasi mengalami sindrom ini). Ditambah lagi, banyak gejala yang menyertai IBS, seperti migrain, nyeri sendi dan otot, dan masih banyak lagi.
Karena banyaknya penderita IBS, dan gejalanya mirip dengan sensitivitas gluten, sedangkan tidak ada tes yang bisa memvalidasi sensitivitas gluten, maka banyak orang yang mendiagnosa dirinya sendiri (self diagnosed) sensitif terhadap gluten. Oleh karena itu lebih ‘mudah’ untuk menghindari gluten sepenuhnya, walaupun belum tentu gluten menjadi penyebab kondisi IBS nya. Ini adalah awal mulanya maraknya produk-produk ‘gluten free’ atau ‘wheat-free’ saat ini.
Gerakan ‘gluten-free’ dan ‘wheat-free’ juga digalakkan oleh buku diet ‘Wheat Belly’ yang dibuat oleh seorang dokter jantung bernama Bill Davis dari Milwaukee, Amerika Serikat tahun 2011 yang menyalahkan gandum-ganduman serta produk turunannya pada diet ala Amerika Serikat sebagai sumber dari ‘segala’ penyakit, termasuk obesitas. Karena itu, ia menggalakkan cara diet tanpa olahraga, boleh mengkonsumsi apapun, hanya harus eliminasi gandum dan produk turunannya. Diet ini didukung oleh banyak selebritas dan para lifestyle enthusiasts pada saat itu.
Ya, kalau nggak memiliki kondisi yang saya sebutkan di atas, silakan saja mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten! Yang penting diingat, konsumsi secara mindful. Gluten biasanya terdapat dalam makanan sumber karbohidrat yang tinggi energi (kalori), yang jika kebanyakan dikonsumsi akan disimpan menjadi lemak (seperti hal nya semua makanan). Jadi, makan secukupnya.
Dalam mengkonsumsi gluten, nggak ada takaran spesifik seberapa banyak yang bisa dikonsumsi untuk setiap orang. Karena gluten merupakan jenis protein yang secara alamiah terdapat pada makanan pokok bersumber serealia terutama gandum, maka yang harus diperhatikan adalah anjuran konsumsi makanan pokok agar status gizi dan kesehatan tetap terjaga dengan baik.
Baca juga:
Fakta Pewarna Makanan Karmin, Terbuat dari Kutu dan Dilarang di Starbucks