UN diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum, apa bedanya? Yuk, para orangtua murid kelas 6,9, dan 12, kita cari tahu sama-sama.
Buat orangtua sekaligus anak murid yang kini duduk di kelas 6, 9, dan 12 mungkin bisa bernapas lega ketika mas menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengumumkan UN dihapuskan. Eits, tunggu dulu. UN memang ditiadakan, sebagai gantinya ada Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Bah, apa pula itu? Apa bedanya dengan UN?
Baca juga: Anak Lulus SD Pastikan Punya 20 Kemampuan Ini
Dikutip dari pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada saat Asesmen Kompetensi Minimum (AMK), hanya ada 2 kemampuan kognitif yang akan diujikan, yaitu materi literasi dan numerasi. Literasi dalam hal ini tidak berarti kemampuan membaca saja yang diuji. Tapi menurut mas menteri, bagaimana siswa mampu menganalisis sebuah bacaan, serta memahami konsep di balik bacaan tersebut.
Sementara untuk materi numerasi, yang diujikan adalah kemampuan murid dalam menganalisis sebuah masalah menggunakan angka, namun bukan mata pelajaran Matematika. Materi ini bertujuan agar murid mampu menggunakan konsep numerasi tersebut dalam penyelesaian sebuah masalah. Sampai sini, terus terang saya belum paham betul, mungkin seiring waktu dan setelah melihat contohnya, baru bisa kita pahami, ya.
Kedua materi di atas akan menyederhanakan asesmen kompetensi yang akan dimulai tahun 2021. Yang kita tahu selama ini Ujian Nasional memang menjadi beban, baik bagi murid, orangtua, bahkan sekolah. Harapannya, sih, AMK akan mengurangi beban tersebut dan yang diujikan pada anak bukan lagi hapalan tapi justru penguasaan materi ilmu yang selama ini diajarkan.
Baca juga: Jangan Hargai Anak Sebatas Nilai di Kertas Ujian Mereka
Bagian kedua dari AMK adalah survei karakter. Selama ini yang disayangkan adalah pemerintah hanya memiliki data kognitif dari para murid, namun kondisi ekosistem masing-masing sekolah tidak diketahui, alias gelap.
"Kita tidak mengetahui apakah asas-asas Pancasila itu benar-benar dirasakan oleh siswa se-Indonesia. Kita akan menanyakan survei-survei untuk mengetahui ekosistem sekolahnya. Bagaimana implementasi gotong royong. Apakah level toleransinya sehat dan baik di sekolah itu? Apakah well being atau kebahagiaan anak itu sudah mapan? Apakah ada bullying yang terjadi kepada siswa-siswi di sekolah itu?" demikian Nadiem menjelaskan.
Pada akhirnya survei karakter bertujuan untuk menjadi tolok ukur dan sebagai umpan balik bagi sekolah dalam melakukan perubahan dan perbaikan. Ujung-ujungnya sekolah diharapkan agar menciptakan rasa nyaman bagi murid-muridnya dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Baca juga: Sekolah Bertanggung jawab Mengajarkan Sifat Inklusif pada Anak Murid
Rasanya kita warga negara Indonesia sudah mafhum, ya, setiap kali ganti menteri, ganti pula kebijakannya. Yang dulu pro UN, yang sekarang maunya pakai AMK. Kita yakinlah semua memang demi kebaikan anak-anak, tapi apapun keputusannya, mau pakai UN, mau pakai AMK, semoga anak-anak nggak jadi merasa kesulitan. Karena ujungnya, yang melakukan ini semua adalah anak-anak. Pada akhirnya anak-anaklah yang dirugikan kalau format baru ini justru membawa banyak kendala. Perlu diingat juga, format baru tentu butuh sosialisasi dan simulasi yang nggak hanya sebentar.
Materi literasi? Sudahkah Kemendikbud survei mengenai minat baca masyarakat Indonesia, khususnya di usia sekolah? Mungkinkah materi tersebut diujikan di tahun 2021? Materi numerasi dalam hal ini bukan Matematika, sudahkah Kemendikbud mencari tahu kemampuan anak-anak usia sekolah dalam memahami konsep tersebut? Jangankan anak-anak, apakah semua sekolah siap? We’ll see.
Menurut mommies bagaimana? Kalau saya, sih, masih punya cukup waktu untuk mencerna, soalnya anak-anak nggak ada yang di kelas 6, 9, ataupun 12 di tahun 2021 nanti. Hehehehe…
Baca juga: Perilaku Anak SD yang Butuh Perhatian Lebih