Sorry, we couldn't find any article matching ''
Teori Triangulation: Anak Bermasalah, Mungkinkah Kita Penyebabnya?
Teori Triangulation, tentang hubungan suami istri yang kurang baik cenderung menyeret anak, sehingga timbul segitiga emosi. Mengorbankan anak dalam permainan tarik menarik ego dengan pasangan kita.
Sebelum lanjut membaca tulisan saya, saya mau bertanya, pernah nggak kita sebagai orangtua melakukan beberapa hal berikut ini, melibatkan anak di dalam ketegangan hubungan kita dengan pasangan?
“Tolong bilangin ke ayahmu, jangan di depan laptop terus pagi siang malam.”
“Bisa nggak sih kalau nyapu yang bersih, jangan kayak ibumu, rumah nggak pernah bersih.”
“Ngomong gih, ke ayah, suruh ajarin matematika.”
“Ya, gitu tuh, kelakuan ayahmu kalau sedang kumat. Marah-marah nggak jelas.”
Dan sebagainya.
Contoh lainnya, anak dijadikan ‘messenger’ atau pembawa pesan untuk mengungkapkan kekesalan kita pada pasangan, menjelek-jelekkan pasangan di depan anak, menjadi sekutu untuk melawan ayah atau ibunya, melarang anak untuk menjalin relasi dengan ayah atau ibunya, melampiaskan kekesalan pada pasangan ke anak, atau sebaliknya, memanjakan anak habis-habisan sebagai bentuk pelarian masalah antara kita dengan pasangan.
Jika pernah, atau mungkin sering, maka bersiap jika anak cenderung ‘bermasalah’.
Baca juga: Sikap Anak = Apa yang Dia Rasakan dan Apa yang Dia Butuhkan
Sebagai orangtua, tidak ada yang lebih meresahkan selain melihat anak kita bergumul dengan stres, kecemasan, kekhawatiran, dan kemarahan. Efeknya, anak mengekspresikan masalah emosi itu lewat perilaku sulit seperti tantrum, bully, sulit diatur, kenakalan, dan sebagainya. Lantas, kita buru-buru mengatakan anak kita ‘bermasalah’.
Saya ingat, waktu anak saya berusia sekitar 6-7 tahun, ia menyimpan ‘ledakan’ tantrum, yang bisa muncul sewaktu-waktu. Kadang karena hal yang sangat sepele. Dulu, karena tidak paham, kadang saya menanggapi tantrumnya dengan tidak kalah emosional. Menjengkelkan sekali rasanya melihatnya begitu. Saya sering kehilangan kesabaran. Hasilnya? Tantrumnya semakin menjadi-jadi.
Baru belakangan saya mendapat pemahaman bahwa emosi anak sebetulnya juga terkait dengan kondisi emosi orangtua. Hal ini ternyata senada dengan teori yang diungkap dalam Teori Bowen. Dikemukakan oleh Dr Murray Bowen, seorang psikiater yang hidup pada masa Perang Dunia II, Bowen berfokus pada pengamatan dinamika hubungan dalam keluarga, yang dikenal sebagai Bowen Family System Theory.
Teori Triangulation ini salah satunya menyoroti relasi antara suami istri. Bowen mengembangkan gagasan bahwa ketika hubungan antara suami istri saling bertentangan atau terjadi ketegangan, mereka cenderung menyeret orang lain ke dalam hubungan tersebut, sehingga timbullah segitiga emosi atau dikenal juga sebagai triangulasi. Dalam hal ini, orang ketiga itu biasanya anak. Kerumitan dimulai ketika salah satu pasangan memanfaatkan dan melibatkan anak untuk menstabilkan hubungan mereka.
Secara tidak sadar, kita sudah menyandera anak ke dalam triangulasi ini, misalnya saat kita mengatakan atau melakukan hal-hal yang saya bahas di atas tadi.
Menurut teori Bowen, anak yang tersandera dalam lingkungan triangulasi ini atau Teori Triangulation ini, dampaknya antara lain:
Anak menunjukkan perilaku sulit.
Gangguan kesehatan fisik yang terkait dengan faktor psikologis, seperti masalah pernapasan, stress, asma, alergi, dan sebagainya.
Terbiasa diserap untuk memperhatikan kebutuhan emosional orang lain, akhirnya mereka kurang bisa memahami keinginan dan kebutuhan mereka sendiri, dan menjadi bergantung pada pendapat orang lain dalam mengambil keputusan pribadi.
Kehilangan diferensiasi diri, sekian lama terjebak dalam proses ketegangan hubungan antara ayah dan ibunya, kata Bowen, saat dewasa ia mengalami krisis identitas, tentang siapa dirinya dan apa yang ingin dilakukan dalam hidupnya.
Dalam relasi yang dimilikinya di masa dewasa, seseorang cenderung memilih untuk memutuskan hubungan setiap menghadapi masalah, ketimbang menghadapinya. Menurut Bowen, triangulasi berpengaruh pada kepuasan perkawinan, kapasitas untuk menangani stres, membuat keputusan, dan mengelola kecemasan.
Baca juga: 7 Tanda Anak Bahagia yang Perlu Diketahui Orangtua
Jadi, ketika kita ‘sakit kepala’ menghadapi perilaku anak yang kita anggap bermasalah, sebetulnya itu adalah momen untuk mengingatkan kita, jangan-jangan ada yang ‘salah’ dalam diri kita, dalam relasi dengan pasangan kita. Coba dicek dulu, pastikan kita tidak mengorbankan anak dalam permainan tarik menarik ego dengan pasangan kita.
Baca juga: Tanda-tanda Empati pada Anak Tidak Berkembang
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS