Saat pandemi gini kok ya masih resepsi? Masih kumpul keluarga dengan alasan silaturahmi?
Menolak ajakan kumpul-kumpul dengan teman-teman seyogyanya lebih mudah untuk dilakukan. Kita pun lebih bisa tegas untuk meniadakan acara playdate anak-anak dengan teman-temannya walau masih saja ada undangan yang datang.
Undangan pernikahan kolega atau bahkan acara reuni kecil teman SMA lebih mudah kita tolak, tanpa takut ada yang sakit hati, atau rasa nggak enakan. Tapi bagaimana dengan ajakan kumpul keluarga besar yang kalau ditolak langsung jadi bahan ghibah para ipar?
Demi menjalin silaturahmi katanya. Agar orangtua terhibur melihat seluruh keluarga berkumpul bilangnya. Padahal saat ini klaster keluarga jadi muara kenaikan angka Covid-19 yang drastis, terutama di DKI Jakarta serta area Jawa Timur. Jika menolak undangan kumpul keluarga besar maka dianggap tak sayang keluarga, tak hormat yang lebih tua, sehingga mau menolak pun sungkan rasanya.
Sesama teman seperjuangan protokol kesehatan seringkali dilanda dilema, apakah harus memenuhi undangan tersebut atau keukeuh menjalankan protokol demi menjaga kesehatan semua pihak. Pasalnya prinsip social distancing dan masker setiap saat menjadi buyar seketika saat kumpul-kumpul keluarga besar. Boro-boro pakai masker, bisa jadi makan sepiring diajak ramai-ramai. Anak-anak pun tak luput dari paksaan cium tangan paman dan bibi yang merasa harus dihormati.
Nah, cara paling aman menurut banyak mommies adalah menghindari ajakan tersebut. Dengan cara apa? Beberapa mommies berikut ini berbagi tips. Silakan dipilih cara mana yang paling pas untuk diterapkan Anda sekeluarga. Jujur, white lies, atau putuskan komunikasi sama sekali :)
Jujur adalah jalan terbaik
“Saya memutuskan untuk jujur bahwa saya sangat nggak nyaman kalau harus bawa anak-anak kumpul-kumpul keluarga yang nggak serumah. Apa lagi saya nggak tahu history perjalanan dan habit keluarga yang bukan keluarga inti dan tidak serumah. Since yang saya ajak bicara adalah my immediate family, mereka sangat mau mengerti, sih. Jadinya kalau si kakek dan nenek rindu sama cucu-cucunya, adik saya akan antar mereka ke rumah. Selama pandemi ini baru 2 kali mereka ketemuan. Sedih, sih, tapi tetap sabar-sabarin diri, deh. Berdoa aja situasi ini cepat bisa dikendalikan dan kita bisa silaturahmi lagi.”
Mike Oktalina, karyawan swasta
White lies lebih baik daripada menyakiti hati orangtua
“Setiap kali menolak ajakan untuk kumpul keluarga, ibu mertua seperti sakit hati dan sangat terlihat sedihnya. Sudah diberi penjelasan mengenai kondisi pandemi dan penularan Covid yang berbahaya terutama bagi lansia serta orang dengan komorbid, tetap saja dia keukeuh kalau kami sekeluarga tak lagi sayang padanya. Suami saya suka sedih, niat baik untuk menjaga kesehatan ibu terpatahkan. Apa lagi buat muslim, ibu itu masih jadi tanggung jawab anak laki-laki, kan? Suami pun tak tega melihat ibunya sedih. Sehingga akhirnya kami memutuskan untuk melakukan white lies.
Beberapa kebohongan putih bisa berbentuk pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan, meeting dengan client, dan sejenisnya. Nah, kalau soal pekerjaan, mertua saya sangat mengerti, secara selama pandemi yang namanya pekerjaan susah, ya. Malah support kita banget untuk tetap bekerja supaya finansial tetap terjaga. So, mohon maaf ibu kalau kami terpaksa berbohong, semua demi kebaikan ibu dan cucu ibu yang punya asma. Kalaupun dosa, biar kami yang pertanggung jawabkan nanti, yang penting sekarang semua orang yang kami sayang terjaga kesehatannya.”
Maya, freelancer
Saklek saja, kalau perlu keluar dari WAG keluarga besar
“Saya adalah orang yang sangat blak-blakan, saya lebih baik bicara fakta walau terdengar keras (atau bahkan kasar menurut beberapa saudara). Tapi saya bicara, kan, bukan tanpa dasar. Saat ini,negara kita lagi darurat Covid, kenapa, sih, maksa banget harus kumpul-kumpul keluarga? Kalau nggak percaya ada Covid atau nggak takut sama wabah, ya, silakan saja. Tapi jangan ajak-ajak saya sekeluarga. Tahu, sih, pada akhirnya jadi bahan ghibah keluarga besar. Ya, sudah biar makin bebas ghibahin saya sekalian, deh, keluar dari whatsapp grup keluarga. Blessing in disguise, hidup jadi lebih tenang dan kalau ada yang penting tinggal japri. Yang penting ajak ngomong baik-baik ibu dan ayah saya serta mertua. Pastikan mereka mengerti keputusan kita. Sisanya, seraaaah….”
Nia, ibu rumah tangga
Rajin-rajin share info penularan Covid di WAG keluarga dan status
“Lebih susah mengedukasi yang lebih tua daripada yang muda, sumpah. Rasanya anak-anak saya jauh lebih gampang dikasih tahu harus pakai masker dan cuci tangan pakai sabun, serta social distancing dibanding om-om dan tantenya. Saya, sih, nggak pernah menyahut atau mengiyakan ajakan kumpul. Sebagai gantinya saya share semua info valid soal penularan Covid, saat ini sudah berapa yang tertular, berapa yang meninggal, edukasi soal OTG, hingga siapa saja yang rentan terhadap wabah ini di WAG keluarga. Saya juga share di status whatsapp yang saya tahu sering dibaca sama anggota keluarga besar lain. Sering disindir, sih, tapi terserah, deh, ya. Buat saya saat ini yang paling penting jaga keluarga inti, karena di luar ini sudah nggak tahu lagi harus bagaimana menjaganya karena pada ngeyel.”
Vania Via, ibu rumah tangga