Sorry, we couldn't find any article matching ''
Membesarkan Anak yang Bahagia di Dunia yang Suram
Memikirkan dunia yang suram, bagaimana agar anak bisa tetap bahagia?
Sejak kecil, anak saya pernah bilang, kalau dia tidak bahagia. Tidak seperti teman-teman seumurannya, yang katanya anak-anak yang happy, innocent. Semula, saya bertanya-tanya, kenapa dia sampai ngomong begitu. Apa di sekolah jadi korban bully, atau di rumah kenapa-kenapa. Jangan- jangan saya ibu yang kejam.
Lama-lama, setelah saya gali, dia sepertinya ‘termakan’ pemikiran filosofis. “Why are we here, just to suffer”, “the human suffering”, adalah kata-kata yang sering keluar dari percakapan. Entah ‘mulung’ dari mana. Jadi, saya abaikan saja keluhannya dan alihkan ke
hal lain.
Di atas bumi ini memang ada banyak penderitaan. Sejak zaman dahulu kala, sekarang (dengan pandemi ini), dan yang menanti di masa depan nanti: Perubahan iklim, kekeringan, kelangkaan sumber pangan, bencana alam, perebutan sumber energi, revolusi industri 4.0, dan sebagainya.
Kalau dipikir-pikir, ya, berat.
Konsep tentang anak yang bahagia menurut saya juga perlu dipertanyakan dan diluruskan. Hal yang sering kita temui, misalnya, pemandangan di sebuah minimarket, seperti ini:
“Ibu, 1 mau 1 permen,” kata seorang bocah.
“Nggak. Kemarin kan sudah permennya,” jawab mamanya.
“Tapi aku belum nyobain permen yang itu,” tunjuk si bocah.
“Ibu bilang nggak. Nanti gigimu bolong-bolong.”
“Pokoknya mau permen!” dan meweklah si bocah.
Permen di sini bisa diganti dengan apa pun yang umumnya disukai anak, tetapi buruk efeknya buat anak. Contohlah, makan mi instan, gadget, dan sebagainya. Apakah dengan membiarkan anak menuruti keinginannya, kita membuat mereka bahagia? Atau, ketika orangtua berani tegas dan
membiarkan anaknya menangis karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, itu artinya orangtua yang memikirkan kebahagiaan anak?
Patuh dengan Bahagia
Kalau bahagia diartikan sebagai ‘child center’, artinya orangtua selalu memperhatikan kemauan anak, hati-hati. Ujungnya malah bisa jadi menjerumuskan. Anak jadi tidak paham dengan aturan. Saya kira, jadi cita-cita banyak orangtua, punya anak yang mau patuh pada aturan dan mematuhinya dengan bahagia. “Nak, sini bantu ibu masak.”, “Tolong bersihin rumah ya!”, “Belajar yang rajin.”
Dan si bocah menaatinya dengan mata berseri-seri dan senyum lebar. Yang perlu dijadikan tujuan dalam membesarkan anak adalah bagaimana agar anak bahagia, untuk melakukan hal yang benar, walaupun ia tahu itu berat.
Empat Elemen untuk Kebahagiaan Anak
Mengutip dari Roy Lessin, di bukunya berjudul How to Be The Parents of Happy & Obedient Children, ada empat prinsip yang harus diperhatikan dalam membesarkan anak. Keempat prinsip tersebut adalah: Cinta, disiplin, pengajaran, dan atmosfer. Keempatnya perlu ditegakkan secara seimbang.
Terkadang, orangtua terjebak, terlalu berlebihan pada salah satu unsur. Misalnya, berlebihan dalam mencintai, tapi lupa mendisiplinkan anak. Sebaliknya, berlebihan dalam mendisiplinkan anak, tapi tidak memberikan perhatian dan ‘bahasa cinta’ yang dibutuhkan anak. Kita mengajarkan anak untuk melakukan ini itu, tapi kita lupa untuk menjadi contoh dan membangun atmosfer, maka kita tidak akan mendapatkan respek dari anak.
Menjadi Figur Panutan
Bagaimana sikap orangtua menghadapi masalah sehari-hari, itulah yang dilihat dan akan ditiru oleh anak, begitu menurut Alyssa Shaffer, dalam sebuah artikel di workingmother.com. Kalau kita orangnya panikan, gampang stres, selalu merasa menjadi korban, ya kurang lebih anak juga akan menyerapnya seperti itulah sikap yang normal dalam menyikapi masalah. Padahal, sumber stresnya, lebih sering gara-gara menghadapi anak. Nah, lho!
Memikirkan sesuatu di luar dirinya
Biasanya, kalau anak saya sudah mulai mengeluh saat melakukan suatu kewajiban, saya akan menceritakan masa kecil saya dulu, punya orangtua yang keras dan disiplin. “Gimana rasanya, kalau kamu punya orangtua kayak kakekmu?” Kata-kata itu terbukti ampuh membuatnya berhenti mengeluh,wkwkwk. Empati ini juga bisa didapat dengan membaca buku, anak menyelami beragam
kisah-kisah orang. Atau juga, mengikuti berita, peristiwa di berbagai belahan dunia.
Jadi, sudahkah kita membesarkan anak yang bahagia?
Baca:
Cara Eksplorasi Minat Bakat Anak Remaja
Share Article
COMMENTS