Menjadi korban kekerasan seksual, perlukah sampai diviralkan untuk meminta keadilan? Jalan panjang yang harus dilalui seorang korban.
Berkaca dari kasus perkosaan Bintaro yang dialami AF. Korban berani mengungkap peristiwa yang dialaminya setahun yang lalu, di akun Instagramnya. Tak lama setelah viral, penegak hukum beraksi dan segera menangkap pelaku. Sebuah potret buram penegakan hukum atas kekerasan seksual di negeri ini. AF adalah sosok korban kekerasan seksual yang sangat berani, mau bersuara, demi menuntut keadilan. Pada saat peristiwa perkosaan itu terjadi, AF juga sigap melapor ke pihak yang berwajib.
Tidak semua korban kekerasan seksual punya keberanian seperti AF. Berani bersuara, bisa berpikir jernih untuk melapor dan mengumpulkan alat bukti. Banyak kasus, seseorang mengalami kebingungan, kekecewaan, kemarahan, belum lagi trauma sepanjang hidup. Banyak yang akhirnya enggan untuk melapor, dengan alasan, sulitnya mengumpulkan bukti, tertekan harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan membangunkan kembali trauma, belum lagi tudingan-tudingan menyalahkan. Lagipula, banyak kasus yang sudah dilaporkan, menguap begitu saja di tangan pihak yang berwenang karena dianggap tidak cukup bukti, sebagaimana yang terjadi pada kasus AF, sampai pengakuannya viral.
Menurut catatan Komnas Perempuan, di tahun 2020 saja, terdapat 14.719 kasus kekerasan seksual pada perempuan ditangani oleh lembaga mitra penyedia layanan, dan 1.419 kasus kekerasan seksual ditangani Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR). Yakin, kasus-kasus yang tidak terlaporkan, jumlahnya lebih banyak lagi.
Baca juga:
Bentuk-bentuk Pelecehan Seksual di Sekitar Kita
Tidak semua kasus pemerkosaan terjadi karena serangan atau dengan kekerasan, yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal. Jika pelaku adalah orang yang dikenal, misalnya, teman, keluarga, mantan pacar, atau pacar. Apakah Anda sudah cukup dewasa untuk menyetujui? Di mata hukum, anak atau remaja di bawah umur, dianggap tidak dapat memberikan persetujuan.
Apakah ada unsur persetujuan dari Anda? Apakah Anda memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan? Seorang fans yang tergila-gila pada idolanya, tapi bukan berarti setuju untuk melakukan aktivitas seksual, sering disalahartikan oleh sosok idolanya. Begitu juga, seorang murid dengan gurunya, seorang bawahan dengan atasannya, atau pelaku yang menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi korbannya. Mereka yang berada di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan, tidak mampu membuat keputusan. Apakah ada unsur ancaman, kekerasan, manipulasi, atau paksaan? Setiap kontak seksual, tanpa persetujuan yang tepat, dapat dianggap pemerkosaan.
Baca juga:
Penyebab Kekerasan Seksual pada Perempuan Terus Terjadi di Indonesia
Bisa keluarga dekat, sahabat, psikolog, atau siapapun yang Anda percaya bisa memahami kondisi Anda. Proses yang akan dilalui masih panjang dan berat, karena itu, akan lebih nyaman jika bisa menghubungi orang lain, untuk menemani proses tersebut, maupun menguatkan mental Anda.
Pertolongan pertama setelah kejadian adalah menjalani pemeriksaan medis. Terutama, bila Anda mengalami cedera fisik. Pemeriksaan medis juga merupakan cara untuk menyimpan bukti fisik dari tindakan tersebut. Walaupun Anda belum memutuskan untuk melapor saat itu juga, sebaiknya tetap simpan bukti-bukti kejadian, jika di kemudian hari Anda merasa lebih siap untuk melapor.
Hal terpenting dalam proses hukum adalah alat bukti. Karena itu, sebaiknya tidak melakukan hal yang bisa menghancurkan bukti, seperti kain baju, rambut, air liur, air mani, hingga keringat, dalam waktu 24 jam setelah peristiwa. Simpan baju, celana, dan pakaian dalam yang dipakai, dalam bungkus kertas terpisah untuk masing-masing pakaian. Hal ini untuk menjaga residu cairan tubuh atau jejak DNA pelaku yang mungkin menempel, guna memudahkan polisi untuk memproses kasus.
Anda juga akan membutuhkan pemeriksaan medis untuk mengetahui kemungkinan pemberian obat-obatan dan alkohol, juga untuk menghindari risiko kesehatan dari paparan penyakit kelamin dan kemungkinan kehamilan.
Melapor adalah sikap yang sangat berat. Selain faktor psikologis dan fisik, seringkali Anda harus menghadapi victim blaming dari masyarakat dan penegak hukum, dan pengucilan dari keluarga karena dianggap aib. Anda bisa saja memikirkannya terlebih dahulu selama beberapa waktu, sampai Anda merasa siap, sebelum memutuskan untuk melapor. Kalaupun bukan untuk menuntut keadilan bagi diri sendiri, dengan melapor, Anda sudah menyelamatkan kemungkinan jatuhnya korban-korban lain.
Baca juga:
Tugas Penting Ibu dari Anak Laki-laki: Mengurangi Kekerasan pada Anak Perempuan
Selain teman, Anda juga akan membutuhkan seorang pendamping yang sudah terbiasa menangani kasus-kasus kekerasan seksual, untuk mendapatkan perlindungan. Misalnya, lembaga seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Unit Aduan Komnas Perempuan, layanan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak), LBH APIK, Yayasan Pulih, atau Rifka Annisa. Bantuan dari terapis atau konselor juga bisa menjadi pilihan, apabila Anda membutuhkan perawatan kesehatan mental, atas trauma yang dialami. Pemulihan trauma bisa berlangsung lama, dan jika tidak tertangani, bisa mengakibatkan keterpurukan dan depresi. Pemulihan mental harus menjadi prioritas.
Mungkin terjadi, Anda mengalami kehilangan memori mengenai kejadian pemerkosaan. Misalnya, karena pengaruh obat-obatan dan alkohol. Hal yang perlu diketahui, tubuh dapat merespons peristiwa traumatis dengan menekan memori apa pun tentang pengalaman tersebut. Pemeriksaan klinis bisa menentukan apakah Anda pernah diperkosa. Pada peristiwa yang sudah lama berlalu, Anda bisa mendapatkan bukti dari pemeriksaan psikologis, atas trauma yang dialami.
Baca juga: