Pemetaan talenta dan eksplorasi minat bakat untuk menemukan passion anak, sedang menjadi kata magis beberapa tahun terakhir. Perlukah difokuskan?
Sejak pertama dikenalkan klub renang di usia 7 tahun, Bayu (13) langsung jatuh hati. Kolam pun menjadi tempat persinggahannya setiap hari, sepulang sekolah. Dari iseng, nyoba-nyoba ikut turnamen, hingga kejuaraan demi kejuaraan renang berhasil ia rebut sampai ke tingkat nasional.
“Duh, repot kalau anak sudah kecanduan sama olahraga kayak Bayu. Mau nggak mau, sebagai ibunya, kita cuma bisa dukung maunya anak, kan? Walaupun itu artinya harus siap antarjemput setiap hari ke kolam dan rela kehilangan waktu buat diri sendiri,” cerita mamanya Bayu, bernada mengeluh.
Kalau Bayu sudah menemukan passion-nya sejak di usia 7 tahun, tak demikian halnya dengan Arif (18). Baru setahun masuk kuliah Ekonomi, Arif tak happy dengan pilihannya dan ingin ganti jurusan. Kepada ibunya, ia mengatakan, ingin sekali menjadi animator.
Beberapa tahun belakangan, kita sering mendengar kata passion sering didengung-dengungkan. Bisa menemukan pekerjaan sesuai passion, seperti menjadi #lifegoals bagi generasi kita. Sekarang, setelah menjadi orang tua, pendidikan untuk anak pun lebih terfokus, untuk mengarahkan anak agar menemukan passion, mengasah talenta sesuai passion.
Passion atau bisa juga diterjemahkan sebagai minat, ketertarikan pada suatu hal. Sedangkan bakat adalah keahlian dan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam dunia pendidikan, sedang digadang-gadang perlunya mengedepankan konsep pendidikan sesuai minat bakat anak. Dengan begitu, kelak ia bisa bekerja sesuai passion-nya. Bukan sekadar robot, yang bekerja sekadar mencari uang.
Minat dan bakat adalah dua hal yang berbeda. Jika keduanya bisa ditemukan secara sinkron, akan menjadi potensi unggul dalam talents mapping atau pemetaan talenta karier anak ke depannya.
Para ‘campaigner’ minat bakat ini beranggapan, buat apa sekolah, hanya buang-buang waktu (dan uang) saja, jika ujung-ujungnya yang dikejar adalah pekerjaan yang sesuai passion.
Pendidikan berbasis minat bakat ini seolah melawan arus tren kompetisi global. Sebelum menjadi Menteri, Nadiem Makarim pernah mencetuskan perlunya generasi muda dibekali dengan ECOMSTER, yakni English, Coding, Mentoring, Statistik, dan Karakter. Menurutnya, kelima hal itulah yang akan membuat generasi muda bisa berkompetisi secara global dan menjawab tantangan industri.
Bukan satu dua, saya pernah mendengar cerita, anak-anak kuliah yang masih belum tahu tujuan hidupnya. Gonta-ganti jurusan, belum juga nemu yang sreg, sampai akhirnya mogok karena bosan kuliah. Ada juga, yang kuliah hanya sekadar cari jurusan favorit, yang nantinya gampang cari kerja (bela-belain walau jalaninnya sambal muntah-muntah, mungkin).
Supaya tidak telat galaunya, banyak yang meyakini, alangkah lebih baik jika passion itu bisa ditemukan sejak usia dini. Dari kecil, anak sudah harus diekspos dengan berbagai kegiatan, agar bisa terlihat ke mana arah minatnya dan terasah bakatnya. Jika perlu, cemplungin ke sekolah yang sudah terarah pada penjurusan sesuai minat bakatnya. Maka, sekarang marak sekolah menengah yang membuka jurusan baru yang fokus pada desain grafis, animasi, programming, sains, seni, selain SMK berbagai jurusan yang sudah terlebih dahulu eksis.
Jangan heran, jika sekarang marak Talents Mapping assesment, Tes Stifin (Sidik Jari), ataupun tes-tes konseling minat bakat lain yang sejenis yang sudah bisa dijangkau untuk anak-anak setingkat sekolah dasar.
Baca juga: Kiat Menggali Bakat & Minat Alami Anak Usia 7-12 Tahun
Menurut Berlin Harianto Purba, yang aktif menjadi pembicara tentang Talents Mapping, secara umum, ada empat kuadran aktivitas. Antara lain, enjoy (menikmati), easy (mudah), excellent (mahir), dan earn (menghasilkan). Disebut hobi, kalau seseorang bisa enjoy, easy dan excellent dalam melakoninya, tapi tidak menghasilkan (earn) uang dari aktivitas tersebut. Disebut kompetensi, kalau seseorang easy dan excellent dalam melakoninya, bisa earn (money) juga, tetapi sebetulnya tidak enjoy. Kalau keempat-empatnya bisa didapat, itu baru disebut kekuatan. Itulah tujuan dari eksplorasi minat bakat.
Anak mulai usia 7-10 tahun adalah masanya sadar potensi. Begitu memasuki usia 11-14 tahun, adalah masanya uji potensi dan uji eksistensi. Usia 15-16 tahun adalah fase emas untuk menajamkan potensi.
Dalam ranah parenting, eksplorasi minat bakat ini seringkali penerjemahannya menjadi intensive parenting.
Orang tua berlomba-lomba mengekspos anak pada beragam aktivitas ekstra kurikuler (ekskul). Anak hidup dengan jadwal yang padat. Di sini jadi terlihat kesenjangan antara kelas ekonomi, orang tua dari kelas ekonomi tinggi cenderung bisa memfasilitasi anak dengan beragam kegiatan ekskul, berbeda dengan mereka yang berasal dari ekonomi pas-pasan.
Minat bakat juga seringkali dipahami pendekatan child center, berorientasi pada anak. Ada anggapan, anak yang tidak bisa matematika, ya tidak perlu dipaksa mendalami matematika, sebab bisa jadi nantinya dia akan jadi seniman. Anak yang suka menggambar, fokus saja stimulasinya di situ. Diceburin ke animasi, desain grafis, atau seni rupa sekalian. Anak yang dari kecil sudah menampakkan bakat sebagai atlet, ngapain belajar sains segala macam.
“Waktu SD, Hafiz saya ikutkan kursus chef. Lumayan lho. Sekarang dia sudah bisa membuat menu-menu yang rasanya sekelas hidangan restoran. Kalau Pilar, minatnya apa?” Saya sering mendapat pertanyaan seperti itu.
Baca juga: Melatih Anak SD dan SMP Mampu Mengambil Keputusan, Ini Caranya
Sebetulnya, kalau kita menyimak puncak-puncak peradaban masa lalu, tidak ada yang namanya spesialisasi, terlebih jika bicara minat bakat. Phytagoras, seorang matematikawan, adalah juga seorang filsuf. Pada masa Renaisans, seseorang bisa menjadi pelukis, arsitek, pandai emas, dan sejumlah keahlian lain sekaligus. Sebutlah, Leonardo Da Vinci, si pencipta Mona Lisa. Dia juga ahli dalam geometri, membuat karya pahat, juga rancangan arsitektur dan bangunan. Dia juga perancang mesin dan alat-alat transportasi air. Nama-nama seperti Newton, Galileo, Aristoteles, Kepler, Darwin, dan sebagainya, adalah beberapa contoh orang dengan kemampuan polymath.
Polymath adalah individu yang punya rentang minat dan pengetahuan yang luas, dan bisa mengaplikasikan pengetahuannya tersebut untuk memecahkan persoalan-persoalan.
Benar bahwa setiap anak terlahir punya disposition atau bakat bawaan masing-masing. Dari usia tertentu, anak juga biasanya akan memperlihatkan ketertarikan atau minat mereka pada bidang tertentu. Akan tetapi, perlukah kita menceburkannya pada satu minat itu saja? Saya termasuk yang percaya, anak tetap harus diekspos pada rentang minat yang seluas mungkin dan pengetahuan yang seberagam mungkin. Contohnya, walaupun anak saya tak ada minat sedikit pun pada piano, tapi saya tetap mendorongnya untuk rutin berlatih, sebab itu bagian dari pendidikan seni yang ingin saya latihkan. Kalau boleh jujur, jika ditanya minat dan passionnya, ia pasti akan menjawab: gamer, YouTuber.
Saya jadi ingat pesan Jack Ma. Untuk mempersiapkan anak pada tuntutan masa depan, mereka harus dididik sisi manusianya, yang seutuhnya. Sebab, saat semua pekerjaan sudah bisa diambil alih oleh mesin, dia akan bisa melakukan pekerjaan yang tidak akan bisa diambil alih oleh mesin secanggih apa pun. Dan, dengan bantuan teknologi, manusia akan punya banyak waktu luang, sehingga ia bisa lebih menikmati kehidupan, sebagai manusia.
Baca juga: Kenali Kelemahan Lewat 7 Gaya Belajar Anak