Agar anak mampu beradaptasi, bagaimana cara kita membesarkannya, memberinya contoh dan apa yang jangan kita lakukan?
Pernah nggak, dapat laporan dari guru di sekolah kalau anak kita sangat reaktif terhadap pop quiz alias ulangan mendadak, tugas mendadak, atau perubahan tantangan? Reaktifnya bisa macam-macam, ada yang menangis, marah, atau malah takut. Kebanyakan, sih, reaksinya negatif, ya, tanda ia tak siap. Ada kemungkinan, anak tak siap dengan konflik, masalah, serta tantangan. Sederhananya, dia bukan merupakan anak yang mampu beradaptasi.
Bagaimana anak yang adaptif itu? Anak mampu beradaptasi bukan cuma dengan lingkungannya, tapi juga terhadap tantangan atau perubahan yang tak terduga. Biasanya memiliki ketahanan, kepercayaan diri, kegigihan, sehat lahir batin, dan punya pandangan positif.
Lalu bagaimana caranya orangtua bisa membantu mereka jadi anak yang lihai beradaptasi di berbagai situasi, termasuk dalam menghadapi kesulitan? Trevor Simpson, seorang konselor dan terapis berlisensi di Maudlin & Associates, Illinois, Amerika Serikat berbagi tipsnya.
Baca juga:
7 Tanda Anak Punya Kemampuan Adaptasi yang Baik
Photo by Mark Stoop on Unsplash
Kalau Anda termasuk orangtua yang perfeksionis, sulit berkompromi dengan perubahan tak terduga, jangan pernah berharap anak bisa adaptif. Ya, orangtuanya saja sulit beradaptasi, apalagi si anak. Ingatlah selalu, orangtua adalah sekolah pertama anak. Apa yang orangtua lakukan, itu juga yang dilakukan anak.
Pengasuhan adaptif tidak berarti kita menjadi permisif, kok. Pengasuhan adaptif lebih kepada percaya bahwa setiap anak adalah individu yang unik, mengalami proses pertumbuhan yang pasti ada naik turunnya. Jadi struktur, batasan, dan aturan untuk ia hidup harus terus dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan psikologis dan emosionalnya yang sedang tumbuh.
Terkadang kita terlalu sering ada di samping anak, memberitahunya mana yang baik, mana yang benar tanpa memberikan pilihan lain. Misalnya saja, kita nggak pernah absen untuk mengingatkannya bikin tugas di rumah, selalu mengingatkannya untuk latihan piano jelang ujian kenaikan tingkat, hingga membantu membacakan latihan soal di musim ujian. Mereka pun langganan dapat nilai terbaik. Mungkin untuk anak-anak kelas usia dini masih bisa, ya, tapi kalau sudah kelas 5, 6, hingga kelas 7? Apa yang harus dibimbing terus?
Bagaimanapun anak-anak juga butuh mengalami kegagalan. Kenapa? Dengan membiarkan mereka gagal kita membantu mereka mempelajari seperti apa rasanya adaptasi, dan tumbuh dalam keyakinan bahwa somehow mereka tahu bahwa mereka mampu mengatasi hal-hal tak terduga. Percayakan saja pada mereka, ya, mommies.
Ternyata rutinitas yang nggak fleksibel sama sekali bisa menghambat kemampuan anak untuk menghadapi perubahan, terutama perubahan tak disangka-sangka. Mengubah sedikit rutinitas, misalnya seminggu sekali, bisa bantu anak untuk memahami bahwa rutinitas, seperti beberapa aturan, sangat bisa berubah. Bertindak spontan juga membantu, lho. Misalnya, yang tadinya mau menghabiskan hari Minggu ke museum, lalu beralih menikmati taman kota. Selama seluruh anggota keluarga sepakat, nggak masalah.
Ketika anak-anak berbagi waktu, ruang, hingga barang, dengan teman-temannya atau orang lain, mereka biasanya akan tumbuh lebih fleksibel. Pas, deh, kalau kita punya anak lebih dari satu. Akan lebih mudah mengajarkan mereka untuk berbagi dengan saudara kandungnya. Nah, buat yang nggak punya (belum punya) adik, dukung ia untuk beraktivitas dalam kelompok. Misalnya saja, jadi anggota marching band, masuk tim basket, atau mungkin tim debat. Dalam konteks ini, anak-anak akan memiliki banyak peluang untuk belajar bagaimana berkompromi dengan berbagai tantangan yang mungkin muncul dari anggota kelompok yang berbeda-beda karakternya.
Baca juga: