Pernah ngintip handphone anak? Jangan kaget ya, kalo isinya suka ajaib. Ini cerita dari anak saya si pra remaja tentang isi WAG di handphone-nya.
Anak-anak, nggak mau kalah sama orang dewasa. Sekarang, kecil-kecil udah pada punya grup WA. Tak hanya satu, tapi banyak. Alhasil, orangtua yang ‘lemah iman’, memilih untuk memberikan handphone sendiri saja ke anak, daripada harus bikin hang handphone mamah :). Bukan hanya anak remaja sih, tapi terutama 13 tahun ke bawah, yang secara psikologis belum matang prefrontal korteksnya. Apa saja yang bisa terjadi ketika mereka ber-WAG? Kata anak saya, kayak gini:
Baca juga:
25 Kiat dari Google Agar Remaja Tangkas Berinternet
Ada anak-anak yang selalu ingin diperhatikan. Mungkin ngajak main game bareng (mabar), WA call, ngajak janji bikin ketemuan, atau malah….sengaja memancing kerusuhan. Drama. Biar rame aja. “Anak-anak yang kayak gini, paling aktif dari semuanya. Dan dia nggak akan pernah berhenti,” kata Pilar.
Kebiasaan bocah yang paling mengganggu. Tidak jelas. Seperti minta perhatian, tapi kalau dikasih, malah marah-marah. Diingetin, ngambek. “Kelakukan seperti nge-spam stiker, gambar, atau malah kirim lag text (teks ular).”
Komen di grup, “Kok sepi sih?”
Tidak punya perasaan empati pada orang lain. Suka menyindir, ngajak rIbut. Parahnya sampai bully verbal ke orang lain. Bisa di grup, atau PM.
Lagi pingin ngomong sendiri karena topiknya yang lain nggak ada yang paham. Bisa juga, dia sedang berbicara dengan satu atau dua orang saja, tapi di dalam grup. Bukan untuk ke seluruh anggota grup.
Suka kirim link aneh-aneh, youtube yang lagi ditonton, berita hoax, dan sebagainya. Dikit-dikit broadcast.
Baca juga:
14 Tipe Pertemanan di Mata Remaja
Orang ini tidak pernah aktif atau jarang berbicara di WA ataupun di tempat lain. Terkadang dia aktif sesekali hanya untuk bertanya atau minta main bareng.
Di kalangan sesama bocah, sudah biasa praktik block unblock. Ada teman yang dia nggak suka, nggak akan bisa PM. Kalo adminnya agak ‘galak’, yang bandel bisa langsung di-kick, besoknya unkick lagi.
Anak saya tahu, sesekali saya suka ngecek handphonenya. Tapi sebetulnya, kalau ada hal-hal yang perlu di-share, dia akan cerita sendiri, sedang ada apa di per-WAG-annya. Anak-anak -dengan alasan privasi atau apa pun- belum bisa dilepas sendiri. Di dalam WAG, ada hal-hal yang perlu dicermati orangtua, seperti:
Baca juga:
Pertanyaan Tentang Seks dari Anak yang Kerap Membuat Orangtua Pusing
Saya pernah mendapati, anak saya keras ke seorang teman, karena posting foto yang dianggapnya hoax. Mengingatkan kesalahan teman, sah-sah saja, tapi perlu diperhatikan juga, bagaimana rasa bahasanya. Bahasa teks berbeda dengan komunikasi temu muka. Kalimat yang biasa kita pakai kalau kita ketemuan, diomongin sambil ketawa-ketawa, begitu ditulis, nadanya jadi lebih kasar. Bahasa teks mudah menimbulkan multitafsir, dan bisa ditangkap berbeda jika kondisi emosi kita sedang tidak stabil atau sedang sensitif. Atau, who knows, si anak yang mengalami kondisi depresi. Bisa fatal akibatnya. Keesokan harinya, saya bahas bersama anak, dan saya minta ia membayangkan, jika ia ada di posisi temannya. Bagaimana sebaiknya mengingatkan teman.
Seperti apa sih etiket whatsapp? Ha..ha..ha…Boro-boro bocah, orang dewasa saja banyak kok yang tidak paham etiket ber-WAG. Ye kan? Hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh di-posting, jejak digital, aturan spam, komen, dan sebagainya. Jangan anggap anak akan ngerti dengan sendirinya. Etiket ini perlu sering-sering diingatkan. Kalau perlu, jika anak jadi admin, atau bikin grup baru, minta ia untuk membahas etiket grup bersama teman-temannya.
WAG itu seperti rimba. Bisa kejam, bahkan ke anak-anak. Makanya penting banget, saya sering ajak anak ngobrolin WAG-nya. “WAG adalah sebuah tempat inspirational, gila, tandus, penuh dengan kutukan, baik, dan… tidak bisa di deskripsikan,” kata anak saya.
Dalam lingkar anak, bukan tidak mungkin ada satu dua teman yang sudah ‘keracunan’ atau terjerumus ke konten sensitif atau terlarang buat anak-anak. Katakanlah, pornografi. Bahayanya pornografi ke anak, sekali mereka melihat, tidak bisa di-unseen. Selain pornografi, bisa juga ide-ide berbahaya. Seperti challenge yang berbahaya, atau ‘beriman’ pada paham atau hoax tertentu. Rajin cek ya Bu Ibu…!
Baca juga:
Perilaku Remaja yang Berisiko: Pacaran, Pornografi Hingga Seks Pranikah