Di balik kampanye selfie hitam putih #challengeaccepted, tak banyak yang tahu kalau tagar ini mulanya diramaikan oleh para perempuan Turki untuk menyuarakan fakta tingginya femisida di Turki.
Sudah terima DM untuk challenge foto selfie hitam putih? Saya lihat di timeline sih, sudah banyak teman yang posting, dibubuhi tagar #womensupportingwomen #challengeaccepted atau #womenempowerment. Semula, saya kira, ini nggak ada bedanya dengan selfie biasa. Tinggal pilih foto yang paling cool. Beres.
Femisida atau feminisida adalah istilah kejahatan kebencian berbasis jenis kelamin, dalam hal ini, perempuan sebagai korbannya. Tagar ini aslinya adalah #istanbulsözleşmesiyaşatır (berlakukan Konvensi Istanbul) dan #kadınaşiddetehayır (katakan tidak pada aksi kekerasan terhadap perempuan).
Turki adalah salah satu negara dengan tingkat pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan orang dekat, terbanyak di dunia. Sepanjang 2019, sejumlah 474 perempuan terbunuh di Turki. Angka ini meningkat dua kali lipat dari tahun 2012. Di tahun 2020, diperkirakan, sebanyak 146 perempuan yang menjadi korban, seiring diberlakukannya karantina di masa pandemi, dan mereka merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga. Seram, ya!
Photo by . liane . on Unsplash
Salah satu yang melatari ramainya tagar tersebut adalah kemarahan para perempuan di Turki setelah kematian Pinar. Mereka bersuara keras menuntut negara bertindak tegas. Baru pertengahan Juli lalu, Pinar, mahasiswi berusia 27 tahun yang tinggal di kota Mugla, dilaporkan hilang oleh keluarganya. Setelah dilakukan pencarian, terungkap, Pinar dibunuh oleh mantan pacarnya. Dia dipukuli dan dicekik sampai mati, mayatnya dibuang ke hutan, kemudian dibakar di tong, dan ditutupi beton, untuk menutupi jejak. Foto hitam putih adalah simbol, yang diambil dari foto korban yang dipublikasikan di surat kabar. Kampanye tagar tersebut dimaksudkan, tidak hanya untuk mengedukasi tentang femisida, juga untuk mengingatkan bahwa para korban ini tidak berbeda dengan Anda dan saya. Setiap perempuan bisa saja berada di posisi Pinar.
Sidik Gültekin, ayah Pinar, berbicara di pemakaman puterinya, "Saya memanggil seluruh Turki, cukup sudah cukup!" Kampanye media sosial dimulai di Twitter, dengan foto Pinar disertai dengan kata "cukup". Kemudian, sekitar tanggal 21 Juli, muncullah challenge foto hitam putih.
Kenapa angka femisida bisa tinggi? Menyimak demonstrasi yang sedang ramai di Turki (di saat wilayah lain sedang lockdown), menuntut Pemerintah Turki untuk segera memberlakukan Konvensi Istanbul 2011. Konvensi tersebut berisi tentang komitmen negara untuk mencegah dan memerangi kekerasan terhadap perempuan, dan bagaimana mendampingi serta melindungi korban. Padahal, Turki merupakan negara pertama yang meratifikasi konvensi tersebut.
Kenyataannya? Justru jumlah korban terus meningkat. Selama ini, para pelaku yang diseret di pengadilan, jika mereka mengatakan, alasannya bertindak berdasarkan dorongan hati, atau dalih agama, seringkali diberikan pengurangan hukuman.
Pembunuhan terhadap perempuan lazimnya disebut ‘Pembunuhan demi kehormatan’ atau honor killing, berakar dari budaya patriarki yang kuat di Turki. Menurut sebuah riset di tahun 2009, sebanyak 42% perempuan Turki berusia antara 15-60 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh suami atau pasangan mereka.
Ada sebuah novel yang sangat bagus yang mengangkat kasus kekerasan terhadap perempuan di Turki. Novel berjudul 10 Minutes 38 Seconds in This Strange World ini menggambarkan bagaimana budaya misoginis masih sangat kuat di Turki. Mengangkat kisah seorang pekerja seks di Istanbul bernama Leila. Dibesarkan dari kota kecil, penggambaran masa kecil Leila sangat memilukan.
Mengalami perkosaan oleh pamannya sejak ia kecil, sosok ayah yang ia harapkan mampu melindunginya, malahan menganggap hal tersebut sebagai aib besar bagi keluarga. Leila dipingit di dalam rumah, dipaksa meninggalkan sekolah, dan harus dinikahkan dengan anak dari pamannya tersebut. Tak tahan dengan perlakuan ayahnya, Leila melarikan diri ke Istanbul, dan nasib membawanya ke sebuah lokalisasi. Leila menemui akhir hidupnya di tangan pembunuh yang mengincar para pekerja seks. Elif Shafak, yang menulis novel ini, mengkritik pedas terhadap budaya yang berpura-pura melindungi kehormatan perempuan, tetapi sebetulnya sangat menindas.
Ada beberapa peristiwa dalam novel ini yang diangkat dari kejadian nyata. Misalnya, soal hukum pidana untuk pelaku tindak perkosaan untuk pekerja seks. Sebelum tahun 1990, menurut hukum Pidana Turki, pelaku tindak perkosaan bisa mendapatkan keringanan hukuman hingga sepertiga dari masa hukuman, jika ia bisa membuktikan bahwa korbannya adalah pekerja seks. Argumennya, kesehatan mental atau fisik seorang pekerja seks tidak akan terpengaruh dengan tindak perkosaan yang dialaminya. Setelah mendapatkan protes keras, pasal tersebut sudah dicabut. Akan tetapi, dalam kenyataan, tidak memperbaiki kondisi pekerja seks maupun kesetaraan gender di Turki. Hingga sekarang, selain pekerja seks, ada beberapa kelompok paling rentan menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, yakni pekerja migran dan kaum LGBT.
Jadi, sebelum posting selfie hitam putih, ada baiknya kita merenungi dulu perjuangan para perempuan di Turki, yang merasa kehilangan rasa aman dan kebebasan. Betapa kita jauh lebih beruntung, dan karenanya, jangan menolerir pemahaman yang mencoba memundurkan perempuan.
Baca juga:
Penyebab Kekerasan Seksual pada Perempuan Terus Terjadi di Indonesia