Sebagai orangtua, jika saya punya opsi lain untuk menghindari PJJ, saya akan ambil opsi itu. Dan saya pun memilih anak cuti sekolah selama PJJ ini berlangsung.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada pihak sekolah dan guru, yang saya yakin, sudah berjerih payah menyiapkan pembelajaran dan bahan ajar untuk semester baru, tapi sejak awal saya tidak nyaman dengan sistem PJJ. Saya akui, sekolah sudah kerja keras melakukan yang terbaik. Jadi, setelah tetap memberi masukan ke sekolah lewat kanal resmi, saya berusaha mengapresiasi upaya sekolah dengan tidak mengintervensi setiap keputusan sekolah. Akan tetapi, sebagai orangtua, jika saya punya opsi lain untuk menghindari PJJ, saya akan ambil opsi itu. Dan itulah yang saya lakukan, anak cuti sekolah di semester ini. Keputusan yang membebaskan anak saya dari seluruh jadwal zoom dan tugas-tugas (thank God). Sekolah tetap memberi kesempatan untuk mengikuti PTS dan PAS. Apa alasan saya?
Photo by Andy Falconer on Unsplash
Ini soal peace of mind. Apa yang menjadi keputusan sekolah, keputusan Diknas atau pemerintah, adalah di luar kendali saya. Kalau (seumpama) pemerintah bilang, sekolah harus tutup sampai tahun 2021, ya, kita bisa apa? Saya memilih untuk melakukan apa yang bisa saya lakukan. Mengambil kendali pembelajaran anak. Pilihan cuti adalah opsi yang win-win solution menurut saya. Anak tetap sekolah, tanpa harus ikut aturan sekolah.Maka, anak cuti sekolah pun akhirnya kami ambil sebagai pilihan.
Pandemi ini membuat saya merefleksikan kembali tentang tujuan belajar, visi pendidikan yang ingin dicapai, dan gambaran besar tentang tujuan saya menyekolahkan anak. Walau saya mengirim anak ke sekolah, saya tetap menempatkan diri sebagai pendidik utama anak. Saya harus bisa menjawab pertanyaan – pertanyaan ini, “Apa sih yang paling penting untuk dipelajari anak?” Kenapa sih, saya menyekolahkan anak? Apakah karena saya ingin anak punya dasar akademik kuat untuk persiapan kuliah? Menguasai skill untuk bekerja? Punya sikap etis? Atau apa? Sekolah, buat saya, tempat anak mendapatkan pengalaman sosial, berinteraksi, dan berkontribusi dalam lingkup masyarakat terkecil. Tujuan lainnya, ya lewat pendidikan rumah.Jadi ketika anak cuti sekolah, dia tetap memperoleh pelajaran di rumah.
Setelah menjalani PJJ sejak maret, saya berkesimpulan, PJJ ini tidak sesuai dengan konten pendidikan yang saya harapkan dari sekolah. Di masa normal, sekolah menawarkan banyak hal selain akademik. Seperti, outbound, berkebun, klub, wirausaha, ekspedisi, magang, dan berbagai aktivitas ‘luar kelas’ lainnya. Saat pandemi, semua tidak bisa dilakukan. Praktis, sekarang fokusnya hanya ke akademik, online pula. Secanggih apa pun programnya, PJJ tidak akan maksimal, selama mindset-nya masih sekolah konvensional, tatap muka pindah ke online. Guru tetap mengajar, anak harus menyimak. Beda dengan tatap muka, dalam PJJ, anak hanya menyerap sedikit. Okelah, ada Google Classroom, Youtube, Edmodo, Meet, dan berbagai aplikasi lain, tapi menurut saya, ‘aplikasi’ terbaik untuk belajar anak adalah buku-buku, kertas, dan pulpen! Aha!
Menurut saya, sepatutnya dalam PJJ, guru mengalihkan komunikasi, tidak lagi guru ke murid, tapi guru ke orangtua. Bikinlah kelas-kelas zoom sebanyak mungkin untuk orangtua. Soal jadwal dibicarakan sesuai kesepakatan. Sekolah bertindak sebagai penyedia layanan kurikulum dan semester plan. Buatlah materi rencana pembelajaran, sumber, jadwal, dan sebagainya, yang akan memudahkan para orangtua untuk mendidik anak di rumah. Buat orangtua yang bekerja, waktunya juga bisa disesuaikan. Cukup satu sampai dua jam pendampingan intens, sisanya bisa dirancang aktivitas yang bisa didelegasikan, atau anak bermain bebas. Tentu, materi atau sistemnya jangan dibuat sama seperti era konvensional.
Kalaupun ada sesi zoom untuk anak, tidak perlu tiap hari, dan batasi hanya untuk sesi yang betul-betul menarik, kreatif, dan menggugah hasrat belajar anak, sehingga anak akan tertarik menyimak sampai selesai, tanpa harus menakut-nakuti anak dengan poin, nilai, rapor. Di luar negeri, ada banyak lho, sekolah, institusi, ataupun komunitas pendidikan yang sudah sejak lama menjual ‘paket kurikulum’ untuk para orangtua praktisi homeschooling. Sangat menarik dan mudah diikuti. Saya rasa, sekolah-sekolah konvensional sekarang ketinggalan jauh dari mereka, dalam hal penerapan pembelajaran jarak jauh.
Beruntung, saya mengenal salah satu metode homeschool sejak beberapa tahun terakhir. Dari situ, saya banyak belajar tentang pendidikan dan psikologi anak. Perlahan, saya menerapkannya ke anak, dan menjadikan metode homeschool sebagai pembelajaran utama. Sekolah jadi nomor dua, sebagai laboratorium sosialnya. Saat sekolah ditutup, saya bisa santai, karena program belajar homeschool-nya jalan terus. Malah bisa lebih intens. Anak juga merasakan sendiri manfaatnya. Wawasannya jadi luas, cinta belajar, dan kemampuan menulisnya terasah, karena dilatih setiap hari. Semester lalu, sekolahnya agak loose dalam pemberian tugas dan hanya ada satu jam sesi zoom setiap hari. Semester baru ini, entah kenapa, jadi padat materi dan tugas. Mungkin karena demand para orangtua juga. Jangan dibayangkan, homeschool itu ribet dan semua materi harus ortu yang ajarin. Asal paham metodenya, mungkin bakal ribet di awal, tapi kalau sudah dapat ritmenya, anak sudah bisa jalan sendiri. Keterlibatan kita bisa diminimalkan. Kuncinya satu: konsisten.
Menurut saya, PJJ bisa lebih diarahkan agar anak belajar mengajari diri sendiri (self directed learner) dan memotivasi diri sendiri. Bukan dengan ‘menyuapi’ materi lewat online, seperti di sesi tatap muka. Selama di rumah, anak saya sudah punya jadwal belajar dan aneka pekerjaan rumah, sebagai asisten utama saya, bebersih rumah, masak, cucian, urus tanaman, dan sebagainya (hihihi). Kalau sekarang dia disibukkan dengan zoom meeting, otomatis budaya itu jadi terdisrupsi lagi. Saya lebih rela melepas asisten kalau dia berangkat sekolah ????.
Buat saya (yang anak sudah seumuran SMP pun), belum saatnya anak terpapar screen time untuk waktu lama, apalagi untuk anak yang lebih kecil. Aktivitas kami selama PJJ ini, pagi hari usai sarapan, jalan kaki menuju ke taman kompleks dekat rumah. Anak baca bukunya, saya baca-baca juga. Dia narasi, saya dengerin, kadang dari situ kami jadi diskusi panjang. Diselingi materi nature study, mengamati tumbuhan atau hewan, lalu dia buat gambar, disertai deskripsi. Saya jadi leluasa mengatur screen time-nya. Laptop dibutuhkan, tapi minimal, hanya untuk beberapa buku yang bentuknya masih digital. Pendampingan saya sekadar untuk menemaninya nongkrong di taman, karena ini masih pembiasaan baru dan saya ingin dia banyak terekspos sinar matahari dan dekat dengan kehijauan. Pulang dari taman, waktunya dia berolahraga yoga sendiri, dan melanjutkan belajar sendiri.
Baca juga:
Panduan Google Classroom, Zoom dan Google Meet Untuk Para Ibu
Ajarkan Anak Berbagai Keterampilan Hidup dengan Mengenalkan Situs Channel Ini