Baik anaknya yang mau, ataupun keadaan yang memaksa, dalam pernikahan di bawah umur, yang salah tetap orangtua.
Tidak ada satu kata pun yang tepat untuk mengungkapkan kemarahan kita, saat mendengar berita tentang dinikahkannya anak usia 12 tahun dengan pria 44 tahun, di Pinrang, Sulawesi Selatan. Usut punya usut, gadis pra remaja ini ternyata merupakan korban kekerasan seksual ayah tirinya. Di mana kemanusiaannya orang tua gadis itu?
Tentang pernikahan di bawah umur, belakangan masyarakat kita terlihat semakin permisif. Dengan dalih, menghindari anak berpacaran, takut nantinya dia hamil, atau karena terlanjur hamil, solusinya kemudian dinikahkan. Contohnya banyak. Jangan salah, tak hanya kelas bawah, kelas menengah, terdidik pun tak sedikit yang terpikir untuk menikahkan anak di bawah umur, dengan berbagai alasan.
Secara hukum, menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengubah batas minimal menikah laki-laki dan perempuan yang akan menikah minimal di usia 19 tahun. Sebelumnya, batas usia laki-laki ialah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Walaupun sebetulnya, secara psikologis, di usia belasan tahun itu, belum bisa dikatakan matang untuk menikah.
Kenapa sebaiknya kita sebagai orang tua, harus mengarahkan anak kita untuk tidak melakukan pernikahan di bawah umur?
“Kecil-kecil udah pacaran? Kawin ajalah!” Begitu reaksi orangtua saya dulu, waktu pertama kali ada cowok apel ke rumah. Suka sama suka, alamiah terjadi bagi mereka yang menginjak puber. Sebagai orangtua, bagaimana sebaiknya bereaksi? Tidak perlu paranoid. Sampai ancam-ancam mau ngawinin segala. Istilah pacaran buat anak, bisa jadi berbeda dengan kita memaknainya. Mereka baru naksir aja, udah bilang jadian dan mengaku pacaran. Mungkin kita aja yang mikirnya kejauhan. Anaknya, sih, bisa aja hari ini cinta mati, besok udah lupa lagi dan suka sama yang lain.
“Anaknya sendiri yang mau. Mereka ngotot mau kawin.” Love is in the air. Pasangan lagi dimabuk kepayang. Dunia serasa milik berdua. Pernah ngalamin, kan? Sebagai orangtua, di sinilah perannya untuk memberi pengertian, sebab mereka belum jauh mikirnya. Arti tanggung jawab aja pasti belum ngerti.
“Err, aku nggak bisa ikut les. Bayiku gimana?” Di sekolah atau kampus, mereka yang menikah muda cenderung menutupi status pernikahannya. Nggak mungkin juga bilang urus bayi, atau bayi sakit. Pasti cari-cari alasan lain buat menutupi kebohongan. Saat melamar pekerjaan, juga biasanya tidak berani mencantumkan status menikah dalam CV.
Siapa yang waktu remaja nggak pernah nakal? Remaja dan eksistensinya, ditambah peer pressure (plus pengaruh gadget kalau sekarang), rentan tergelincir kenalan. Pergaulan bebas, alkohol, dan narkoba, adalah bagian dari proses pencarian jati diri, pemberontakan, dan eksistensi. Mereka butuh perhatian lebih dari kita. Janganlah kian diperparah dengan status pernikahan.
Baca juga:
Perilaku Remaja yang Berisiko: Pacaran, Pornografi Hingga Seks Pranikah
‘Married by Accident’, atau sebaliknya, ‘Accident by Married’. Menikah karena hamil atau hamil karena menikah. Keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Sebab, sama-sama kehamilan yang tidak diinginkan. Bahayanya besar. Misalnya, rentan melahirkan bayi prematur. Rahim masih belum sepenuhnya siap menjalani proses kehamilan. Karena usia remaja, masih merupakan usia pertumbuhan, rebutan nutrisi dengan janin pun biasanya terjadi sehingga bayi atau ibu cenderung akan kekurangan nutrisi. Tingkat kematian akibat persalinan lebih tinggi, begitu juga, risiko cedera terkait kehamilan, contohnya, kondisi fistula obstetrik.
‘Anak kecil kok punya anak.’ Saya aja yang menikah di usia matang, rasanya berat banget menjalankan peran untuk membesarkan anak. Nggak kebayang kalau pengalaman itu dialami remaja, seperti di film Dua Garis Biru.
Banyak kasus, pernikahan di bawah umur bukan karena pilihan sendiri. Anak belum punya kehendak yang kuat untuk mengambil keputusan. Maka, orangtua yang biasanya memutuskan. Sering terjadi, anak menikah karena dipaksa. Atau, karena kasus hamil, maka untuk menutupi aib keluarga, dia harus menikah. Padahal, bisa jadi, kehamilan karena kasus pemerkosaan. Bisa juga, seperti pada kasus gadis di Sulsel, dipaksa menikah, karena untuk menutupi aib, bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual ayah tirinya. Jadi, kalau Anda keukeuh anak harus menikah, perlu dicurigai, nih, motifnya. Jangan-jangan…
Kesempatannya untuk menyelesaikan sekolah ataupun kuliah jadi terhambat. Bagaimana dia bisa fokus belajar, sementara menikah membuat ia sibuk dengan tanggung jawab domestik. Apalagi kalau sudah ada anak. Never ending job. Padahal, jalannya masih panjang. Dalam hidupnya, ada banyak sekali kesempatan yang bisa terbuka, untuk dia meraih cita-citanya setinggi mungkin.
Di usia belia, boro-boro punya kemampuan mengelola uang, untuk menghidupi dirinya dan keluarganya saja belum mampu. Darimana kalau bukan meminta dari orang tua? Iya, kalau orang tuanya mampu, kalau tidak?
Di AS, tingkat perceraian yang menjalani pernikahan di bawah umur, sangat tinggi, 70 hingga 80 persen. Ini terkait dengan kematangan psikologis. Mentalnya belum matang untuk bisa membangun relasi yang sehat. Kita aja yang dewasa, suka kewalahan kalau masuk ke ranah konflik dengan pasangan.
Hilangnya kesempatan belajar dan masalah keuangan, hilangnya kebebasan individu, membuat risiko stres meningkat. Di AS, mereka yang menikah pada usia 18 tahun atau kurang, menghadapi risiko 23 persen lebih besar mengalami penyakit berat, seperti serangan jantung, diabetes, kanker, dan stroke. Belum lagi, risiko gangguan kejiwaan.
Baca juga:
Berbagai Bentuk Stress pada Anak Remaja
Pengetahuan tentang hubungan seks yang aman dan masalah kesehatan reproduksi belum memadai.
Secara global, perempuan yang menikah sebelum 18 tahun, tiga kali lebih rentan mengalami kekerasan oleh pasangannya, ketimbang mereka yang menikah di atas 21 tahun.
Remaja belum punya otonomi untuk menentukan hidupnya sendiri. Orangtua bisa seenaknya memaksa untuk menceraikan anaknya, begitu si bayi sudah lahir.
Waduh. Kok bisa? Dengan menikahkan anak, artinya kita dengan sengaja mengakhiri masa kecil anak sebelum waktunya. Yang harusnya mereka masih senang-senang, sudah kita letakkan tanggung jawab sebagai orang dewasa ke pundak anak. Nggak mau, kan, dikatakan ortu pelanggar HAM anak?
Baca juga: