Ini review serial Netflix The Baby-Sitter Club yang ternyata membuka mata saya sebagai orang tua tentang banyak hal. Layak ditonton pakai banget!
Buku-buku The Baby-Sitter Club karya Ann M. Martin ini salah satu yang mengisi lemari buku saya di tahun 90-an, selain Lima Sekawan, Malory Towers, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Komik Nina, Agen Polisi 212 dan banyak lagi lainnya.
The Baby-Sitter Club juga yang membuat saya berkhayal untuk bisa menghasilkan uang di masa remaja, kalau mereka dengan cara mengasuh anak, kalau saya dengan cara menyewakan buku-buku ke anak-anak tetangga.
Maka, ketika The Baby-Sitter Club hadir sebagai serial original Netflix, nggak mungkin dong saya nggak nonton. Dan, setelah sekian puluh tahun berlalu, hadir di dalam media yang berbeda, serial Netflix ini benar-benar membuka mata saya sebagai orang tua. Yang dulu baca bukunya sekadar untuk hiburan, sekarang nonton film-nya jadi tersentil-sentil.
Terdiri dari 10 episode untuk season satu ini, setiap karakter di film tuh mendapatkan porsi yang pas dengan problem yang real banget, sesuai realita deh.
Jadi, kalau ditanya, ini review serial Netflix The Baby-Sitter Club saya dan nilai moral apa saja yang saya dapatkan dari tokoh-tokoh di dalamnya:
Ayah bukanlah support system, Ayah adalah main system dalam membesarkan anak. Masalah inilah yang dialami oleh Kristy Thomas, yang orang tuanya bercerai lalu si ayah hilang entah kemana. Rasa marah, iri serta sedih di dalam dirinya tergambar dengan jelas ketika melihat bagaimana teman-temannya mendapat perhatian yang cukup dari ayah masing-masing.
Marry – Anne Spier tumbuh besar hanya dengan pengasuhan ayahnya, karena ibunya meninggal ketika dia masih bayi. Masalahnya adalah, sang Ayah menjadi over protective dan sangat membatasi pergaulan serta penampilan Marry-Anne, bahkan hingga penggunaan smartphone. Tanpa sang ayah sadar, semakin bertambah usia, Marry-Anne bukanlah lagi anak bayi, dia butuh untuk diberi kepercayaan lebih, dia butuh diberi kebebasan.
Masih seputar konflik yang dialami oleh Marry-Anne dan Richard Spier, ayahnya, karena ketidakpahaman Richard dalam membesarkan anak perempuan sendirian, Richard pun menjadi sosok ayah yang dominan. Apa pun yang dia katakan, Marry-Anne harus setuju. Pola asuh ini akhirnya membuat Marry-Anne dikenal sebagai anak yang tak punya pendirian, takut menyuarakan pendapatnya hingga selalu meminta maaf untuk segala hal, yang bahkan sama sekali tidak perlu.
Claudia Kishi adalah anak yang sangat-sangat berbakat di bidang seni, namun sayangnya kedua orang tuany terlalu fokus pada nilai akademis dan kurang peduli dengan bakat Claudia di bidang seni. Yang sangat menampar saya sih ketika Claudia bilang “Kenapa ya, kita selalu salah di mata orang tua hanya karena apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan keinginan orang tua?” – ketampar nggak?
Stacey McGill yang menderita Diabetes Tipe 1 merasa bahwa ibunya malu dengan kondisi kesehatannya. Kenapa dia berpikir seperti ini? Karena ibunya tidak pernah mengizinkan Stacey mengenakan pakaian yang menunjukkan alat kesehatan pengecek kadar gula yang dipasang di tubuh Stacey. Faktanya? Sang ibu hanya ingin melindungi Stacey dari bully-an orang-orang di sekitar yang menganggap Stacey aneh karena penyakit yang dideritanya.
Ayah dan ibu dari Dawn Schafer, anggota terbaru dari The Baby-Sitter Club memutuskan untuk bercerai, karena sang ayah akhirnya menyadari bahwa dia gay. Namun, Dawn terbukti baik-baik saja karena komunikasi kedua orang tuanya baik dan ayahnya pun rutin menghubungi Dawn serta menunjukkan rasa cintanya.
Di luar urusan parenting, ada satu hal yang menarik perhatian saya,ketika The Baby-Sitter Club mendapat saingan dan si kompetitornya ini menyebarkan video saat Stacey kejang akibat penyakitnya. Hal yang kemudian menimbulkan kekhawatiran dari para orang tua yang anaknya dijaga oleh mereka selama ini.
Dibanding membalas dengan memberitakan hal-hak buruk tentang saingannya, semua anggota The Baby-Sitter Club memutuskan untuk mengundang para orang tua dan bicara jujur mengenai kondisi kesehatan Stacey. Karena menurut Kristy “Mereka boleh bermain kotor seperti itu, tapi kami memutuskan kejujuran adalah jalan yang harus kami tempuh.”
Banyak banget issue – issue lain yang bisa kita nikmati di film seri ini. Mengenai pernikahan kedua, hingga topik LGBT yang cukup sering dibahas. Pesan dari saya, ketika ingin menonton film ini dengan anak pra remaja dan anak remaja kita, pastikan kita sudah membahas mengenai beberapa value yang mungkin tidak cocok dengan value keluarga kita.
At the end, film seri ini worth it banget untuk ditonton, entah sendirian, bersama pasangan atau bersama anak.