Sorry, we couldn't find any article matching ''
PPDB DKI: Pro Kontra Aturan Usia Masuk Sekolah
Tentang PPDB DKI, walau banyak yang kontra, saya malah cukup pro dengan aturan ini. Well, ini pro kontra versi saya tentang PPDB DKI yang menetapkan aturan usia masuk sekolah.
Beberapa minggu ini, di handphone saya, hampir tiap hari notifikasi Google News yang masuk adalah berita seputar Nadiem Makarim. Nadiem begini, Nadiem begitu. Hahaha…Macam tak ada gosip lain saja di dunia ini. Itulah, bermula dari rajin mencari update-an soal kebijakan persekolahan di masa korona. Saya jadi tahu di luar sana sedang ada ribut-ribut PPDB (Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru), untuk tingkat SD, SMP, dan SMU negeri.
Teman saya yang anaknya tahun ini masuk SMP, cerita, anaknya tidak lolos di jalur zonasi. Dalam satu kecamatan tempat ia tinggal di Jakarta Timur, ada 6 pilihan. Anaknya dari kecil selalu berprestasi. Sayang, usianya 12 tahun 7 bulan. Ternyata, yang lain umurnya mendekati atau di atas 13 tahun.
Cerita lain, teman yang anaknya masuk kelas akselerasi. Tahun ini, usia 14 tahun, anaknya sudah lulus SMP. Bersaing lewat jalur zonasi, jelas dia kalah. Mau nilai rapornya setinggi apa. Sekarang, harapannya tinggal jalur prestasi.
Ada lagi, nih, cerita gini, “Anakku usia 15 tahun, nggak bisa masuk SMA. Kalah sama yang usia 19 tahun. Bingung, nih, harus ke mana. Masa iya, harus nunggu dua tahun dulu untuk masuk SMA? Pas ditunggu, tahunya nanti sistem berubah lagi. Tahu sendiri, kan, sistem Pendidikan Indonesia suka berubah-ubah.”
Setiap tahun, yang selalu saya ikuti, pasti ada saja kegaduhan dalam kebijakan PPDB. Tahun ini, khusus di DKI, pemicu utama kegaduhan adalah diterapkannya kriteria usia dalam seleksi masuk: prioritas diberikan kepada anak-anak dengan usia yang lebih tua.
Dasar dari kebijakan ini adalah Permendikbud Nomor 17/2017 dan Permendikbud Nomor 44/2019, yang mengatur tentang PPDB. Kaitannya dengan persyaratan usia siswa, walaupun tidak spesifik mengharuskan seleksi berdasarkan usia, namun secara logis berimplikasi demikian. Mari kita bandingkan pro kontranya.
Pro
Pertama:
Sejak keluarnya Permendikbud No.17/2017, persyaratan usia masuk SD minimal 7 tahun. Usia 6 tahun bisa diterima, asalkan anak memiliki kecerdasan istimewa atau kesiapan belajar, yang dibuktikan dengan rekomendasi dari psikolog. Dari sisi psikologi perkembangan, menurut Piaget, anak usia 7 tahun belum saatnya diajari calistung (membaca menulis berhitung). Alasannya, pada usia itu, anak-anak belum dapat berpikir operasional-konkret sehingga ditakutkan pelajaran tersebut membebani mereka yang belum bisa belajar secara terstruktur.
Teori lain dikemukakan oleh Susan R.Johnson, belajar membaca pada usia di bawah 7 tahun, bagian otak yang akan dipakai adalah belahan otak kanan. Kelemahannya, kalau cara membaca dengan otak kanan itu terpatri di pola pikir anak, di kemudian hari ia akan mengalami berbagai problem belajar. Memang masalah umur ini kadang bisa complicated, terutama bagi anak-anak yang lahir di bulan Oktober-April. Menunggu Juli, usianya bisa 7,5 tahun. Kelamaan nunggunya, apalagi jika anaknya termasuk yang cepat matang dan sudah siap belajar. Tapi, kalau dipaksakan daftar, masih 6 tahun sekian bulan.
Kedua:
Semangat yang dibawa PPDB adalah memberikan pemerataan pelayanan pendidikan. Cita-cita pemerintah adalah wajib belajar kalau bisa sampai tingkat SMA. Artinya, anak-anak yang sempat putus sekolah ataupun tertunda pendidikannya, masih punya kesempatan untuk kembali ke bangku sekolah. Bisa saja, karena sempat sakit lama, faktor terkendala biaya, atau pernah tinggal kelas. Maka, wajar saja jika usia 15 tahun dia baru lulus SD. Anak-anak seperti inilah yang (sekarang) diutamakan untuk diterima oleh sekolah negeri.
Ketiga, daya tampung sekolah negeri lebih rendah dari banyaknya calon siswa. Sistem zonasi berdasarkan usia ini, bisa jadi, mengutamakan mereka yang lebih tua, untuk menghindari angka putus sekolah, sebab kesempatannya jauh lebih sedikit dibanding mereka yang masih lebih muda. Ini juga bagian dari program pemerintah menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Tentu, kalangan kurang beruntung inilah yang harus kita dukung untuk mendapatkan sekolah gratis.
Kontra
Setiap kebijakan tidak pernah bisa memuaskan semua pihak. Implikasinya, pasti ada saja pihak-pihak yang dirugikan. Secara individual tampak dan terasa tidak adil: anak pintar, berprestasi, sudah belajar giat, menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga untuk les, ternyata 'kalah prioritas' dengan ‘anak bodoh’ yang kurang beruntung. Banyak yang bilang, “Kasian, anak SD sekarang tidak semangat belajar. Ngapain kerja keras, kalau seleksi sekolah kalah sama yang lebih tua.”
Kritikan tajam juga datang, terutama untuk seleksi SMP dan SMA. “Okelah, kalau seleksi SD dibatasi usia. Lha, kalau udah terlanjur lulus SD atau SMP, masa masih dipatok usia juga. Memangnya kalau nggak keterima di mana-mana, dia nganggur dulu?”
Belum lagi, keberadaan kelas akselerasi di level SMP. Mereka yang punya kemampuan belajar bagus, bisa mengambil program ini, sehingga SMP bisa diselesaikan selama 2 tahun. Jangan heran jika ada anak usia 14 tahun sudah lulus SMP. Persoalannya, dengan sistem seleksi seperti sekarang, anak-anak pintar-pintar muda ini akan ketendang dari sistem. Bagaimana PPDB bisa mengakomodir mereka? Yang beruntung, bisa sih, lolos dari jalur prestasi. Tapi, itu juga tingkat probabilitasnya 50-50.
Lalu, soal kejelasan data. Seharusnya Dinas sudah punya data usia seluruh siswa sehingga tuduhan terjadi diskriminasi terkait usia, sudah bisa diantisipasi dan dijawab dengan data. Tidak seperti sekarang, pemerintah seolah mengeluarkan kebijakan yang tidak berbasis data.
Nah, Anda sendiri memihak ‘tim’ yang mana? Pro atau kontra? Eniwei, buat yang belum beruntung, saya doain deh. Semoga segera mendapatkan ganti yang terbaik.
Baca juga:
Anak Sekolah Butuh 5 Hal Sederhana Ini dari Orang tua Agar Tidak Stress
Anak Lulus SD Pastikan Punya 20 Kemampuan Ini
Jangan Menghargai Anak Sebatas Nilai di Kertas Ujian Mereka
Share Article
COMMENTS