Ya, memang, sulit sekali menemukan cara terbaik untuk mendisiplinkan si balita yang kian rebel, tapi bukan berarti tidak bisa.
Masuk usia 1,5 tahun, siap-siap menghadapi tingkah si kecil yang bisa dibilang makin ajaib! Jujur, saya nahan-nahan di mulut setiap kali ditanya, “Gimana si kecilnya sekarang? Udah bisa ngapain aja?”, dalam hati, tuh, pingin jawab, “Begini, toh, rasanya menghadapi si terrible two!”
Tapi… ucapan adalah doa, ceunah! Jadi, lebih baik saya menjaga situasi dan mencegah diri sendiri mengalami those terrible things (meskipun saat lagi nulis ini, kedengaran dari kamar, tuh, remote TV habis dia lempar).
Cara untuk menjaga situasi dan kondisi supaya nggak mengalami sesuatu di luar kendali kita, tentunya dengan menerapkan disiplin dengan tepat. Iya, saya paham, kok, teori tuh seringkali jauh banget dari realitas yang kita hadapi sehari-hari. Belum lagi faktor lain (baca: emosi ibu) yang ikut memengaruhi terjadinya “perang di rumah”. Baru..aja kelar beresin rumah, eh, tau-tau anak nyamperin bawa gelas isi air yang sengaja dia tumpahin. Sabar, sabar, tarik napas, buang napas! Kalau nggak boleh diteriakin, trus diapain, dong?
Seorang Certified Family Life Educator, Sandy Bailey, Ph.D, mengatakan bahwa kita harus memiliki persepsi bahwa penerapan disiplin pada anak adalah bentuk pengajaran, bukan hukuman. Orangtua berperan sebagai guru yang mengajarkan anak dengan konsistensi, kesabaran, dan kasih sayang.
Buat balita, konsistensi sangatlah penting, kalau kemarin bilang A, hari ini harus tetap bilang A. Ulangi terus menerus! Ingat, kemampuan balita memahami sesuatu itu, kan, memang dengan cara mendengarkannya secara berulang kali.
Saat anak melakukan kesalahan, nggak usah dikuliahi, cukup dengan kata “tidak” dengan penjelasan singkat, misalnya, “Nggak boleh, nanti kamu bisa terluka”, “Nggak boleh pegang itu karena itu bukan mainan!”. Kemudian, arahkan anak ke kegiatan yang lebih diinginkan. Berhubung rentang perhatian balita masih pendek, aka masih gampang move on, alihkan ke permainan lain.
Meski sangat membantu, tapi beberapa anak baru akan paham bahwa kita sedang memberinya waktu supaya dia paham akan kesalahannya, di usia 3 tahun. Untuk si dua tahun, sih, kita nggak bisa berharap banyak, karena saat dicuekin, seringkali dia malah mencuri perhatian kita dengan lebih banyak bertingkah. Kebanyakan malah bikin kita luluh, mau marah, eh, malah jadi ketawa.
Buat si dua tahun, hal ini masih membingungkan dan bisa bikin mereka malah jadi frustrasi. Namun, buat si tiga tahun, time out bisa dilakukan selama 3-5 menit, sampai ia bisa mengendalikan dirinya. Lebih baik anak duduk di kursi dekat kita, daripada disuruh masuk ke kamarnya, karena nanti ia mengasosiasikan kamarnya dengan hukuman. Lagipula, di kamar, kita malah tidak bisa mengawasi apa yang ia lakukan.
Selain anak, kita juga butuh time out, terutama saat sudah di ujung kesabaran dan timbul keingingan untuk memukul anak. Seburuk apapun tindakan anak, memukul bukanlah pilihan untuk mendisiplinkannya. Memukul hanya akan membuat anak menjadi takut pada kita. Walaupun kita tidak bermaksud menyakiti anak, namun saat kepala lagi panas-panasnya, seringkali sulit untuk kita menahan diri.
Jangan lupa bahwa tindakan dan kelakuan manisnya juga patut kita akui. Silakan kasih pujian saat ia bisa berbagi mainan dengan temannya, saat ia menghabiskan makanannya dulu, baru lanjut bermain, saat ia merapikan mainannya setelah selesai. Dengan demikian anak akan mengerti kalau ternyata nggak perlu jadi nakal dulu buat dapat perhatian ibu.
Jauhi anak dari situasi yang menyulitkan. Contoh paling mudah, kalau ia sudah kelihatan ngantuk dan lapar, jangan dibawa belanja berlama-lama atau ke tempat yang kita tahu sangat berisiko, seperti toko barang pecah belah. Nggak mau juga, kan, kalau seharian harus berteriak, “No! Nggak boleh!” Maksimalkan kesempatan anak untuk bermain dan bereksplorasi tapi sebisa mungkin jauhkan anak dari risiko terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.
Baca:
Mengajarkan Anak Agar Bisa Mengambil Keputusan Sejak Balita