Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan seorang YouTuber gen-Z yang nge-prank alias mengerjai beberapa anggota masyarakat dengan berpura-pura memberikan bantuan berupa sembako, namun di dalamnya diisi dengan sampah. Terbayang, ya, bagaimana perasaan yang menerima? Sedih, kecewa, marah, mungkin juga malu.
Belum lagi tren prank orderan fiktif ojol di mana para pelaku membuat order makanan sangat banyak namun berpura-pura tidak memesan sehingga orderan tidak dibayar. Banyak yang ojolnya sampai menangis lalu dengan teganya mereka bilang itu prank dan si ojol diberi uang. Menertawakan ketakutan orang lain itu tidak lucu sama sekali.
Pelaku prank merasa ini sekadar bercanda saja. Semuanya demi konten video yang diharapkan menjadi viral. Kalau sudah viral, tentu namanya makin terkenal, makin banyak subscribernya, maka semakin untung pula dia.
Pertanyaannya, kenapa, sih, demi konten saja pelaku tega menyakiti orang lain. Dan banyak, lho, pelaku prank ini. Silakan buka aplikasi youtube, ketik keyword “prank indonesia” maka ratusan video prank (yang sayangnya) produksi anak muda akan muncul.
Sedih, ya? Why anak muda? Apa yang bikin kamu bisa nggak punya perasaan seperti ini? Saya pun sedikit galau, mengingat generasi masa depan ini. Bersama mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Sp.Psi.,Psi. saya pun ngobrol, bagaimana caranya supaya anak-anak yang kita asuh nggak berakhir jadi generasi prankster.
Banyak sekali video prank di YouTube dan kebanyakan diproduksi oleh gen-Z. Secara garis besar, kira-kira kenapa, sih, generasi ini suka sekali memproduksi hal tersebut? Nggak cuma mempermalukan orang, tapi juga bisa mencelakai orang, lho.
Walau kita nggak bisa menggeneralisir bahwa gen Z adalah generasi yang suka nge-prank (karena ini, toh, hanya dilakukan sebagian saja dari mereka) tapi memang nggak bisa dipungkiri, faktanya memang gen-Z dekat sekali dengan gadget dan social media. Generasi ini jauh lebih tech savvy dibanding gen sebelumnya.
Nah, karena mereka lekat sekali dengan social media seolah sudah menjadi bagian dari dunia mereka. Jadi apa yang terjadi di dalam social media macam Instagram, Tiktok, atau YouTube, menjadi penting bagi mereka seperti jenis konten, jumlah viewer, follower, hingga likes.
Pencapaian yang dianggap keren di social media, sepeti banyaknya viewer, subscriber, atau likes dan kemudian jadi viral akhirnya menjadi target hidup. Demi hal-hal yang mereka anggap penting inilah, lalu sebagian dari mereka menggunakan cara mempermalukan orang lain, dan tidak mempedulikan kepentingan, atau perasaan orang lain demi mendapatkan kepopuleran.
Dalam hal anak yang tanpa perasaan nge-prank orang lain ini, sejauh mana, sih, tanggung jawab orangtua? Apakah pondasi karakter yang kurang? Atau memang karena 'gagap teknologi', dalam hal ini informatika terlalu deras, sehingga untuk memfilternya sulit?
Yah, mau tidak mau kalau ada kasus-kasus seperti ini, kita harus kembali mempertanyakan bagaimana pola asuh yang ia dapatkan. Karakter tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan termasuk pengasuhan. Latar belakang yang multifaktor memang saling terkait,ya pengasuhan, ya, orangtua yang gagap teknologi, hingga social media culture shock.
Kalau dalam peristiwa FP yang heboh kemarin ini, kita melihat kurangnya empati, ya, kan? Nah, empati merupakan salah satu karakter yang pengembangannya seharusnya bisa dimulai sejak anak usia dini. Pengasuhan orangtua sangat berpengaruh di sini.
Tanpa bermaksud menyalahkan orang tua, bagaimanapun pendidikan karakter memang mengarah ke pola asuh seperti bagaimana dulu dia dibesarkan, nilai-nilai apa yg dia serap, contoh seperti apa yg dia lihat.
Jika memang generasi saat ini sudah terlanjur terpapar, apa yang bisa dilakukan untuk 'menyelamatkan' generasi ini dari sebutan generasi prank?
Pada dasarnya produksi konten prank ini, kan, menyedot banyak perhatian ya. Artinya, perhatianlah yang mereka cari. Cara efektif untuk menghentikannya, ya, stop kasih perhatian apalagi memviralkan prank-prank sejenis.
Tapi jangan lakukan pembiaran. Kita bisa, kok, melaporkan prank yang berujung pada tindak pidana ke pihak berwajib, tanpa perlu ikut memviralkan video prank tersebut. Stop sharing kalau kita tahu tentang prank seperti ini.
Nah, untuk generasi berikutnya, nih, supaya nggak lagi memproduksi konten-konten sejenis, apa yang sebaiknya yang diajarkan orangtua?
Empati. Itu yang paling penting. Mengajarkan empati bukan semata-mata mengajak anak untuk berbagi atau memahami apa yang dirasakan orang lain. Menanamkan empati dimulai dari diri orangtua sendiri. Caranya bisa dengan memperlakukan anak dengan empatik; antara lain memahami apa yg dirasakan anak, mendengarkan apa yg ia ingin sampaikan, serta menghargai pendapatnya.
Soal aktivitas prank, kita juga bisa ajarkan ke anak, bahwa sebatas lucu-lucuan, nggak menyakiti perasaan atau fisik orang lain, serta nggak dipost di social media, atau disebarluaskan mungkin masih bisa ditolerir.
Misalnya saja, ada teman yang hari itu ulangtahun, untuk bikin kejutan, dari pagi dicuekkin, nggak diajak ngobrol, tahu-tahu sorenya dikasih kejutan kue. Itu sepertinya masih bisa, deh, kita anggap “prank” yang wajar. Menjadi tidak wajar ketika prank kemudian berujung pada aktivitas yang menyakiti perasaan dan fisik orang lain, bahkan kerusakan hingga kehilangan barang.
Sekali lagi, saat anak mungkin sudah pernah melihat video prank, kita bisa sampaikan padanya, apakah aktivitas tersebut ada untungnya? Positif atau negatif? Menyakiti perasaan? Melukai fisik orang lain? Membawa kerugian nggak? Janganlah sampai kita merasa prank tersebut lucu dan membuat kita tertawa di atas penderitaan orang lain.
So mommies, belum terlambat, kok, untuk mencegah kelahiran pelaku-pelaku prank berikutnya. Mulai dari anak-anak kita sendiri dulu, yuk!
Baca juga:
Empati Pada Anak Tidak Berkembang, Ini Beberapa Tandanya