Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kenali Kelemahan Lewat 7 Gaya Belajar Anak
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Kelemahan dalam gaya belajar justru bisa menjadi challenge yang perlu ditaklukkan anak. Tidak untuk menjadi juara kelas, tapi bagaimana dia bisa mengalahkan dirinya sendiri.
Minggu-minggu ini seru banget dengerin curhatan beberapa teman emak-emak tentang tugas sekolah anak …
Ada yang sibuk broadcast minta likes untuk tugas foto/video
Ada yang kesal diteror guru karena anaknya santai-santai belum mengumpulkan tugas
Ada yang kasihan melihat anaknya stres mengerjakan puluhan soal dalam sehari.
Ada yang bete, “Sekolah gue yang bayar, kenapa juga gue yang sibuk ngerjain tugas anak!”
Ada juga yang pening baca soal matematika. “Gue lagi gemesh. Masa ada PR disuruh mencari luas dan volume prisma segilima tak beraturan. Apa gunanya tu rumus buat hidup gue?!”
Mereka yang sekolahnya cukup santai dari tugas, juga punya keresahan lain. “Anak gue kok nggak disuruh apa-apa. Terus selama di rumah ini dia belajar apa, dong!”
Yang jelas, kita bisa menikmati, masa-masa #dirumahaja ini, linimasa medsos banyak berseliweran video anak (yang sebetulnya bagian dari tugas sekolah). Selama mendampingi anak di rumah, saya mencoba mencari tahu, seperti apa gaya belajar anak saya. Terlebih, dikaitkan dengan pembelajaran online seperti sekarang.
7 Gaya Belajar
Tentang gaya belajar anak, mengacu pada kecerdasan majemuk yang dipopulerkan oleh Dr. Howard Gardner, secara umum ada 7 macam. Antara lain:
Visual
Anak lebih suka belajar menggunakan gambar, foto, video, animasi. Paling cepat paham kalau lihat Youtube.
Aural atau auditori
Tipe pendengar yang baik. Tersiksa kalau disuruh berlama-lama baca. Menikmati belajar dengan musik, penjelasan dari suara, audiobook, podcast atau rekaman.
Verbal
Anak lebih suka penjelasan lewat kata-kata, baik dijelaskan secara langsung, maupun lewat tulisan. Mudah paham dengan membaca buku, transkrip, atau modul.
Kinestetis atau fisik
Tidak bisa diam. Banyak gerak. Lebih suka belajar utak-atik menggunakan tangan, tubuh, dan sentuhan. Senang diajak bikin-bikin diorama, handicraft, dan sebagainya.
Logika
Puas banget kalau dikasih kuis, games, atau aktivitas yang berhubungan dengan logika. Tipe seperti ini enjoy kalau dikasih pembelajaran dari aplikasi seperti Kahoot dan Quizzes.
Sosial
Tipenya suka rame-rame dalam grup atau belajar dengan teman. Mereka aktif kalau diajak diskusi, kerja atau proyek kelompok.
Soliter atau intrapersonal
Punya daya konsentrasi yang bagus. Independen. Anak lebih suka belajar sendiri, mencari tahu sendiri. Tugas seperti membuat narasi, review, tulisan, bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Menggali Kelemahan
Tidak semua anak betah disuruh duduk diam berlama-lama di depan laptop. Pembelajaran online juga tidak berarti semua materi belajar harus menggunakan gadget. Dari ketujuh gaya belajar itu, setidaknya pasti ada satu atau dua tipe yang dimiliki anak. Namun, tidak berarti anak hanya distimulasi dengan satu jenis pendekatan saja. Misalnya, begitu tahu anak kita tipe visual, lantas hanya disodorkan materi-materi Youtube atau buku-buku bergambar saja.
Saya pribadi justru akan fokus pada kelemahan anak. Gaya belajar yang mana yang nggak banget.
Di usia-usia di atas 10 tahun, sedang masanya untuk melakukan eksplorasi terhadap kekuatan minat dan bakat anak, serta menggali potensi anak. Tapi, bukan berarti, stimulasi hanya berfokus pada kekuatan dan hal-hal yang menjadi minat anak saja. Dalam tradisi pendidikan klasik, salah satu tujuan pendidikan adalah agar anak mampu membangun relasi pengetahuan dari berbagai subyek yang dipelajarinya.
Misal, anak saya yang sekarang duduk di bangku SMP, tidak suka menggambar. Saya akan tetap menjadwalkan aktivitas menggambar dan memperkenalkannya pada berbagai lukisan maestro, sebagai bagian dari studi seni. Anak paling nggak suka tampil di video, dengan adanya tugas sekolah buat video, mau tidak mau dia kerjakan juga tugasnya.
Anak paling tersiksa dengan gaya belajar kinestetis. Segala yang berbau fisik, membuatnya menderita. Saya justru ajak dia stretching setiap hari. Saat mendapat tugas membuat diorama dari sekolah, dia jadi sibuk membuat konsep dan jadilah diorama sekadarnya.
Anak juga bukan tipe sosial. Selama ini, dia selalu tersiksa dengan tugas kelompok, karena ujung-ujungnya dia yang ngerjain semuanya. Zoom meeting sekolah buat dia sekadar kewajiban. Boro-boro bersuara. Saking bosannya, dia bisa sampai ketiduran. Tapi dari situ, dia bisa belajar tentang kerjasama, kolaborasi, dan kepedulian terhadap teman-temannya.
Kelemahan dalam gaya belajar justru bisa menjadi challenge yang perlu dia taklukkan. Tidak untuk menjadi juara kelas, tapi bagaimana dia bisa mengalahkan dirinya sendiri.
Baca juga:
Anak Slow Processing Speed Bukan Berarti IQ Rendah
Life Skill yang Dipelajari Anak Selama Karantina
10 Tanda Kesehatan Mental Anak Saat Pandemi
Share Article
COMMENTS