Jangan Jauhi ODP dan PDP: Takuti virusnya, bukan orangnya.

Self

Mommies Daily・15 Apr 2020

detail-thumb

Ditulis oleh: Ficky Yusrini

Seorang dokter berkisah, ada pasien yang datang ke tempat praktiknya. Ia menangis memohon untuk dibuatkan surat keterangan bahwa mereka tidak kena Covid-19.

Alasannya, “Saya diusir dari kontrakan, Dok. Kata yang punya kontrakan, saya meresahkan masyarakat karena bisa nularin penyakit. Yang punya kontrakan sampai bilang kalau saya nggak mau keluar dari kontrakan, silakan tunggu warga datang untuk menggerebek rumah dan mengusir.” Bukan hanya itu, si pasien juga bercerita, suaminya diancam mau dipecat dari pekerjaannya. :(

covid 19 corona

Satu atau dua minggu lalu, kita sering mendengar kisah pilu para ODP yang mendapat diskriminasi dari lingkungan tempat tinggalnya. ODP atau Orang dalam Pemantauan adalah semua yang datang dari daerah wabah, yang masuk ke Indonesia.

Ada pula PDP, yakni Pasien dalam Pengawasan, orang-orang yang punya gejala Covid-19 namun belum terbukti positif, lalu menjalani perawatan. ODP dan PDP menjadi kaum yang belakangan ini ‘dicurigai’, dijauhi, digosipin, dan perlakuan yang terberat … didiskriminasi.

Mereka yang pernah mengalami perlakuan sebagaimana ODP dan PDP, antara lain, para tenaga kesehatan (nakes) yang diusir dari kost-nya atau mendapat penolakan dari sopir karena takut membawa virus dari RS, para profesional yang baru tugas dari luar negeri, keluarga yang salah seorang anggotanya dirawat di RS karena menjadi pasien Covid-19, dan sebagainya.

Termasuk, kalau Anda terlihat (atau terdengar) bersin-bersin dan batuk-batuk, dijamin Anda mendadak akan menjadi bahan lirikan sampai pelototan orang-orang di dekat Anda dan semua terbirit-birit menjauh ibarat melihat hantu. Coba aja :p

Jadi pasien Covid-19 Bukan Aib

Cerita diskriminasi itu bukan satu dua saja contohnya, tetapi mendadak banyak terjadi di mana-mana. Pandemi ini membuat kita seperti sedang berada di tengah medan peperangan, namun seremnya, musuh tak kelihatan. Kekhawatiran berlebihan tanpa dibekali pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk dan cara penularan virus, membuat kita paranoid. ODP dan PDP dianggap sebagai ‘musuh’ yang terlihat.

Seseorang menjadi ODP dan PDP bukanlah akibat perilaku yang salah atau apa. Justru, mereka adalah korban kemanusiaan yang membutuhkan pertolongan. Tidak selalu, rumah sakit bisa menampung mereka, jika kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan. Lagipula, rumah sakit tidak akan sanggup menampung seluruh ODP.

Mereka justru butuh dibantu untuk karantina, mencukupi kebutuhan pribadi selama masa karantina tersebut. Bukan malah dijauhi. Terlebih lagi para nakes, yang sehari-hari bekerja di garda depan menangani para pasien, seharusnya mendapatkan support maksimal.

Bayangkan, jika Anda jadi Mereka, Anda yang ODP/PDP, mau diperlakukan bagaimana?

Kini, Semua adalah ODP

Terhitung April, situasinya berbeda. Mereka yang ODP bukan lagi yang datang dari luar negeri. Di daerah, semua yang datang dari Jabodetabek adalah ODP. Bahkan beberada daerah sudah menyiapkan tempat isolasi khusus selama 14 hari. Bagi yang tinggal di Jabodetabek, mereka yang demam, batuk, bersin, adalah ODP.

Mendadak, suara-suara bersin jadi sering terdengar di kanan kiri depan belakang rumah. Nggak usah jauh-jauh tetangga, setiap kali suhu tubuh saya menghangat, suami buru-buru curiga saya terpapar korona. Ia langsung jaga jarak dan melarang saya keluar pintu rumah sama sekali, walaupun untuk belanja sayur.

Mereka yang terpaksa harus bepergian menggunakan transportasi publik, adalah ODP. Mereka yang intensitas keluar rumah masih tinggi, adalah ODP. Mereka yang masih sering ke tempat ramai, seperti pasar/mal, adalah ODP. Mereka yang masih sering ketemu orang, adalah ODP. Mereka yang tidak mengenakan masker, adalah ODP. Baik mereka yang tinggal di episentrum wabah, zona merah atau bukan, sekarang kita bisa menyebut kita semua adalah ODP. Jadi, tidak perlu lagi diskriminasi. Siapa pun bisa terpapar.

Selama ini, kita menganggap virus Covid-19 ini menular lewat kontak. Sebuah penelitian dari MIT, Amerika Serikat, mengungkap, droplet ini bisa terbang sejauh 8 meter dengan kecepatan 80km/jam. Penelitian lain dari Cina menyebut, droplet tersebut bisa bertahan di udara hingga 3 jam! Temuan itulah yang mendasari kenapa pemakaian masker saat keluar rumah itu penting.

Jauhi yang Ini

Alih-alih menjauhi orang sakit, mereka yang perlu kita kecam sekarang seharusnya adalah orang-orang yang seperti ini:

- Ngeyel. Masih saja keluyuran, tidak mau diam di rumah. Masih bikin hajatan, pertemuan, mendatangi kerumunan, ibadah rame-rame, dan sebagainya. Kan, sudah ada aturan jaga jarak sosial dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

- Tidak menutup mulut dengan siku saat bersin. Tubuh mungkin sehat, tapi namanya bersin bisa datang kapan saja. Mereka yang sehat juga bisa menjadi super spreader, karena tidak menunjukkan gejala, tetapi sebetulnya sudah terpapar.

- Cuek. Beraktivitas luar rumah seperti biasa, tanpa kewaspadaan. “Ah, cuma flu biasa ini!”,”Aku kan rajin nge-gym. Nggak bakalan lah kena!”, dan lainnya.

Baca juga:

Ketika Teman Positif Covid-19

Berapa Lama Orangtua Sebaiknya Menemani Anak Bermain dalam Sehari?

Tolong Baca Pesan Saya, Seorang Ibu yang Sedang Berjuang Untuk Sembuh dari Covid-19