Sorry, we couldn't find any article matching ''
Jika Teman Positif Covid-19
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Saya sangat mengikuti perkembangan berita Covid-19. Hingga suatu hari, angka-angka yang saya baca bukan lagi sekadar angka, tetapi semakin nyata. Temannya teman, kerabatnya teman, hingga akhirnya teman sendiri. Apa yang bisa, perlu, dan jangan kita lakukan untuk membantunya.
Adakah yang seperti saya? Saat swaisolasi #dirumahaja seperti sekarang, ada ritual baru. Setiap pukul 16.00 sore, sambil menahan napas, buka Twitter, apalagi kalau bukan buat menyimak angka terupdate tentang jumlah data positif korona (dan berapa angka kematian karena korona). Walaupun saya tahu, angka-angka itu rasanya tak berarti apa-apa, jika dibanding dengan jumlah sesungguhnya jumlah mereka yang terinfeksi virus korona, karena terbatasnya tes.
Saya mengikuti banget berita perkoronaan ini, dari dalam maupun luar negeri. Kisah-kisah korban yang meninggal, pasien, para tenaga kesehatan, maupun mereka yang baru mengalami gejala, juga mereka yang berusaha mendapatkan tes dari rumah sakit rujukan, walaupun harus mengeluarkan biaya sendiri. Hingga suatu kali, angka-angka itu bukan lagi angka, tetapi semakin nyata mendekat. Temannya teman, kerabatnya teman, dan akhirnya…teman!
Salah seorang teman sekolah anak, orangtuanya dinyatakan positif dan dijemput ambulans sesuai protokol Dinas Kesehatan. Rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari rumah teman! Satu minggu kemudian, teman satu grup whatsapp berpamitan karena harus menjalani treatment dan isolasi di rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta. Beberapa hari yang lalu, eks teman kantor, meninggal dunia sebagai pasien korona. Padahal, usianya masih 30-an, sehat, tidak ada riwayat penyakit jantung ataupun diabetes.
Hari berganti. Memasuki minggu ketiga #dirumahaja, satu demi satu kabar itu datang, bukan sebagai berita yang saya baca di media, tetapi datang langsung dari orang-orang yang saya kenal. Ada teman kerja suami, menceritakan keluhannya demam dan batuk parah setelah pulang dari tugas luar negeri, datang ke rumah sakit, hanya untuk diminta pulang dan isolasi sendiri di rumah. Bahkan dites pun tidak. Lalu, ada teman kuliah, suatu kali sesak dadanya, ia lakukan tes skrining Covid-19 sendiri dari link internet, dan ia dianggap berisiko tinggi positif Covid-19. Ada pula, teman yoga, pulang dari Bangkok, masih beredar ke mana-mana, tidak mematuhi aturan swaisolasi.
Di masa wabah ini, walau tak bisa saling bersua, tetapi inilah masanya untuk saling mendekatkan diri dengan orang-orang yang kita sayangi. Keluarga, keluarga besar, juga teman-teman terdekat. Bertanya kabar, kondisi kesehatan, dan saling mendoakan tentunya. Dan, ketika masa itu tiba, yaitu masa saat kita mendapat kabar salah seorang teman menceritakan dirinya mengalami gejala Covid-19.
Kita sebaiknya menyarankannya untuk:
Patuhi swaisolasi. Gejala Covid-19 mirip dengan gejala flu biasa. Bisa jadi, itu false alarm atau mild symptom.
Swaisolasi dari anggota keluarga. Selamatkan keluarga agar tidak tertular, sesuai kaidah WHO (kamar terpisah, selalu kenakan masker, tidak menggunakan alat makan yang sama, dan sebagainya).
Lakukan self healing dengan istirahat yang cukup, jaga pola makan dan konsumsi asupan suplemen untuk meningkatkan kekebalan tubuh.
Hubungi nomor darurat Covid-19 di wilayah setempat, atau segera ke rumah sakit rujukan Covid-19, jika keluhan dirasakan semakin parah.
Tanyakan perkembangannya secara intensif. Jangan sampai karena ia penyembuhan sendiri di rumah, yang akhirnya terlambat penanganan.
Jika teman posisinya sudah masuk rumah sakit, kita bisa:
Menanyakan perkembangannya. Walau tak bisa ditengok, pasien tetap bisa berkomunikasi lewat ponsel.
Menawarkan, adakah buku bacaan yang dibutuhkan untuk menemaninya selama menjalani masa isolasi.
Menawarkan, adakah urusan di rumah yang bisa dibantu. Menjenguk keluarga dan menanyakan kondisi kesehatan keluarga yang ditinggal. Sebelum berdonasi ke orang-orang yang tidak kenal, akan lebih baik jika orang yang kita kenal baik mendapat porsi donasi kita lebih besar.
Membesarkan hati dan menguatkan mentalnya, semua yang terjadi karena rencana Tuhan.
Jangan sekali-kali:
Membuatnya semakin parno dengan membahas kondisi Covid-19 terbaru (yang lebih banyak kabar buruknya). Terkadang, berita media dan informasi di medsos malah justru menambah penyakit baru, panic attack, kecemasan dan stres.
Memborbardirnya dengan berbagai saran. Misalnya, konsumsi lemon, bawang merah, daun sirih, jahe, dan lainnya, yang kabarnya bisa menyembuhkan Covid-19. Banyak yang sifatnya masih simpang siur dan belum tentu teruji kebenarannya. Kecuali dia yang nanya dan minta saran kita.
Menyalahkannya. “Kamu sih, udah dibilangin nggak usah ke kantor, masih aja ngantor.” “Siapa suruh nggak pake masker. Tuh, kan, kena!”
Mengucilkannya. Juga keluarganya. Di sinilah ‘kesetiakawanan’ kita diuji.
Baca juga:
Cara Menjelaskan Tentang Covid-19 pada Anak
Ketika Covid-19 Berakhir, Tolong Ingat Hal-hal Ini!
Share Article
COMMENTS