Obrolan saya dengan single mom Ruth Ninajanty (35), jebolan University of Missouri-Columbia, USA, Graduated with Bachelor of Journalism, yang bekerja di Shopee Indonesia, sebagai Marketing Communications, memberi kesan, Ruth perempuan yang punya kendali atas hidupnya.
Selain itu, karena Ruth juga saya jadi teringat, obrolan bersama rekan-rekan kantor, seputar tema “setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik untuk dirinya”. Mau menikah atau tidak, ingin punya anak atau tidak, kita sendiri yang menentukan. Karena kriteria minimal merasakan bahagia untuk tiap orang itu, beragam. Yap, Ruth memutuskan bahagia punya anak tanpa menikah.
Ruth punya anak di usia relatif muda, 22 tahun. Tapi di titik ini, menurut saya, emosi Ruth sudah cukup matang, karena akhirnya memutuskan mengasuh Andrew (14) seorang diri dan berpisah dengan pasangannya baik-baik. Nggak hanya itu, Ruth juga perempuan mandiri. Ketika dia hamil, Ruth sedang berada di USA menyelesaikan kuliahnya, jauh dari keluarga di Indonesia.
Cara dia move on juga unik, rajin traveling! Menyibukkan diri berdua anaknya dengan sesuatu yang baru, tidak berkutat dengan pemikiran yang menyakitkan dari masa lalu. Dari satu perjalanan ke perjalanan lain, eh tahu-tahu Ruth bilang dia sudah merasa move on.
Silakan simak obrolan saya bersama Ruth Ninajanty berikut ini.
Saya berpisah dengan pasangan sejak 2006 sejak anak masih dalam kandungan. Saya dan ayahnya Andrew tidak pernah menikah. Jadi ya kita hanya putus dan berpisah. Di tahun pertama punya anak, saya menyelesaikan kuliah, sambil jalan-jalan, saat masih tinggal di Missouri-Columbia, ketika waktu senggang. Mulai dari yang jauh pas liburan atau yang di sekitar tempat tinggal kalau waktunya hanya weekend.
Ternyata jalan-jalan dan bertualang berdua itu seru. Traveling ini akhirnya jadi kebiasaan saya dan Andrew menghabiskan waktu berdua, termasuk setelah kami berdua pulang ke Indonesia. Karena traveling inilah, saya merasa bahwa berdua juga bisa bahagia. Saya kerja cari uang, lalu uangnya dipakai traveling berdua.
Tahu-tahu sudah move on, hahaha. Selain itu kami tinggal berjauhan, dia di Amerika, saya di Indonesia. Berkomunikasi kebanyakan hanya soal Andrew. Cara move on paling cepat buat saya adalah pindah. Pindah lokasi, kalau tidak bisa, ya minimal pindah hati, hehehe. Yang penting sudah tidak ada dia di prioritas kehidupan saya lagi.
Setelah berpisah dengan pasangan, saya menyelesaikan kuliah di Amerika. Setelah lulus dan pulang ke Indonesia, kendalanya mulai bermunculan satu per satu. Mulai dari lingkungan (termasuk keluarga) yang kepo, beban untuk mencari kerja, kebutuhan bersosialisasi dan lain sebagainya.
Awalnya agak sulit karena keluarga meminta saya tidak membicarakan status saya sebagai single mom secara terbuka. Saya orangnya open dan cenderung cuek. Jadi kalau pakai umpet-umpetan begini agak susah. Tapi kalau yang minta orangtua sendiri (sementara mereka bantu saya urus anak pas kerja) kan susah juga ya.
Jadi pas pulang ke Indonesia setelah lulus kuliah, saya tidak pernah bilang kalau saya single mom. Kalau ditanya “suaminya mana?” Saya jawab “bapaknya Andrew di Amerika.” Diplomatis banget sih haha. Tapi pas cari kerja, saya terbuka dengan status saya, soalnya saya selalu minta anak ditanggung ke asuransi saya dan biar kalau perlu ijin urusan anak jadi gampang, soalnya saya kan nggak ada tandeman-nya hehe. Jadi, bisa dibilang awalnya saya tidak terlalu terbuka karena permintaan keluarga, namun setelah orangtua mulai bisa menerima keadaan, saya baru jujur sama lingkungan.
Saya mengajarkan ke Andrew kalau hidup berdua ini bukan sesuatu yang salah. Cuma pilihan ini kurang populer saja. Andrew juga tahu sejak awal bahwa saya dan ayahnya tidak menikah. Kami berpisah baik-baik. Bahkan nama “Andrew” pun sebenarnya si ayah yang kasih. Dia juga menggunakan nama keluarga ayahnya.
Ayahnya selalu ada, jika dihubungi, dia juga kenal dengan keluarga ayahnya, sepupunya dan kakek-neneknya. Dan karena kita tidak pernah hidup bertiga, kesulitannya buat Andrew adalah ketika dia “bertemu” ayahnya lewat video call trus jadi gugup harus bicara apa karena tidak kenal. Mengenalkan Andrew pada ayahnya inilah yang masih jadi PR buat saya.
Kita berpisah baik-baik, dan karena tidak menikah jadi tidak ada proses cerai yang sulit. Karena awalnya memang teman, sekarang kita kembali berteman lagi. Komunikasi kebanyakan lewat email karena perbedaan waktu dan lokasi yang cukup jauh, serta dilakukan seperlunya saja.
Misalnya waktu harus perpanjang passport anak. Saya lebih sering ngobrol sama grandparents, tante, om dan sepupunya Andrew. We’re closer to his family than to him. Karena sudah 14 tahun, Andrew sudah punya email dan media sosial sendiri, jadi sekarang dia bisa berhubungan sendiri sama ayahnya.
Bagaimana mendidik anak dengan baik. Saya tidak pernah merencanakan punya anak di usia 22 tahun, let alone being a single mom who has to handle the child alone. Jadi saya khawatir kalau saya tidak bisa jadi ibu yang baik buat anak saya. How to handle it? Instinct. If I’m a good person and I try to live on my life the best way I can, sepertinya saya bisa menjadi contoh yang baik buat anak saya. Saya terbuka sama anak saya, kita bisa ngobrol tentang apa aja, mulai dari game PS4, jurusan yang mau diambil, sampai tentang sex. I treat my son like how I want to be treated and so far so good.
Menjawab pertanyaan orang. Saya orangnya cuek. Biasanya kalau hanya berdampak ke diri sendiri, saya ceplas-ceplos. Nah, sekarang karena ada status baru jadi Mamanya Andrew, saya jadi lebih hati-hati karena kan efeknya bisa ke anak saya. Contohnya, saya paling sebal kalau lawan bicara saya minta maaf setelah tahu saya ini single parent. Haha. Soalnya saya bingung, yang benar itu bereaksi bagaimana, terutama di Indonesia. Di Amerika, waktu saya hamil, everyone said ‘congratulations’ and no on even bother asking about the father.
Di sini kebanyakan malah kasihan plus kepo sama status saya. It was in some way, a culture shock for me and I’m afraid I’m giving the impolite answer. Saya tidak keberatan ditanya, hanya takut jawabannya tidak sopan. How to handle this? Sejujurnya ini mengalir begitu saja, sampai sekarang saya masih belum tahu jawabannya dan mengandalkan insting buat jawab pertanyaan.
Being Single. Marriage was never in my agenda. Not even after I have Andrew. Tapi karena hidup saya sekarang bukan tentang saya sendiri dan Andrew sering tanya, “kapan ada adik, Ma?” atau “Kok Mama tidak punya pacar sih, aku mau punya ayah?” saya jadi pusing haha.
Tapi eventually, we found a way to compromise. Saya sering ngobrol sama Andrew dan akhirnya saya minta maaf. Soalnya saya memang tidak berencana punya pasangan dalam waktu dekat jadi tidak bisa kasih ayah. Kalau untuk adik, saya terus terang bilang punya anak itu mahal.
You really have to think about it and sekarang biayanya belum ada. Sekarang anaknya sudah paham, sudah bisa menerima keputusan saya, dan saya jadi lebih lega. Ternyata jadi ibu masih boleh lah ya egois dikit, asal dibicarakan baik-baik sama anaknya. Just be open to your kid, even if it’s about your feeling.
Fokus ke masa depan. Mantan itu masa lalu, sudah tutup buku. Jangan menangisi yang memang sudah tidak ada. Saya fokus ke mencari uang, bagaimana membiayai hidup sepuluh tahun ke depan. Fokus ke karier, fokus ke menemani orangtua di rumah (kebetulan kami tinggal bersama karena adik-adik saya sudah menikah dan tinggal di luar negeri semua) dan tahu-tahu semuanya terlewati selama 12 tahun.
Bersyukur akan keadaan sekarang. Saya punya anak yang bisa diajak jalan-jalan, diajak nyobain restoran baru dan diajak main game PS4. Andrew juga tumbuh jadi anak yang baik. Saya masih bisa hidup nyaman, masih kerja, masih gajian, orangtua masih lengkap, dan adik-adik juga akrab. Jadi saya bersyukur dengan apa yang saya punya dan tidak ambil pusing dengan apa yang saya tidak punya (misalnya pasangan, atau momen wearing that white dress and walking down the aisle).
Cari teman yang bilang ‘saya juga kok’. Saya senang ikutan komunitas dan biasanya kalau sudah kenal akan ditanya “suaminya mana, Mbak?” Saya selalu jawab jujur “saya single mom,” dan ternyata yang nanya bilang “lho, saya juga, Mbak.” Nah kan jadi seru, jadi akrab. Ternyata banyak di sekitar saya yang senasib dan saya tidak perlu merasa sendirian. Saya ikutan komunitas Single Moms Indonesia karena di sana anak saya juga bisa melihat bahwa kita tidak sendirian. Bisa punya teman yang senasib yang mengerti masalah kita. Dari situ kita berdua bisa yakin bahwa hidup berdua ini juga akan baik-baik saja.
Pada awalnya tidak ada. Waktu saya jadi single mom, belum kenal siapa-siapa. Tapi orangtua roommate saya pas kuliah bercerai, ibunya sudah menikah lagi. Saya pernah menghabiskan liburan di rumahnya, makan bersama satu meja dengan kedua orangtua kandungnya, ayah tiri dan adik tirinya. No awkwardness, no drama. Dari situ saya merasa bahwa kehidupan setelah perpisahan bisa baik-baik saja tanpa perlu ada drama. Terutama kalau semua itu demi kebahagiaan anaknya.