Saya seorang ibu bekerja yang memiliki satu anak perempuan. Ini adalah hari ke lima saya berjuang untuk sembuh dari Covid-19. Dan ini cerita saya.
Hari senin, awal minggu ini, saya dinyatakan positif Covid-19. It was really harsh, harder than I could ever imagined. Berat banget rasanya beban yang harus saya tanggung. Merasa sedih, panik sudah pasti, khawatir, kemudian ingin nangis karena teringat anak perempuan semata wayang saya. Saya langsung membayangkan, apa yang akan terjadi pada anak saya kalau seandainya saya meninggal. Itu yang paling saya takutkan.
To cut the story short, saya pergi ke Bali di awal Maret (saat itu kasus Covid-19 belum dianggap bahaya di Indonesia, ketika kasus pasien positif pertama diumumkan di tanggal 2 maret). Gejala awal saya rasakan setelah empat hari di Bali. Apa gejala awal saya? Jangan bayangkan batuk dan demam, nggak ada sama sekali. Gejala awal saya adalah mual, muntah dan diare. Diare-nya pun bukan diare yang gimana banget, masih diare ‘standar’. Dan saat itu tentu saja saya nggak tahu kalau ini adalah gejala Covid-19. Di otak saya, gejala Covid-19 ya batuk, demam, ngilu serta sesak napas.
Pulang dari Bali, pandemic Covid-19 di Indonesia berkembang liar, semakin banyak temuan kasus positif, ODP hingga PDP. Bagaimana rumah sakit rujukan dan tim medis kewalahan. Saya pun memutuskan untuk mematuhi imbauan pemerintah untuk social distancing selama 14 hari di rumah. Saya tutup usaha saya (walau sambil mikir, gimana membayar cicilan dan biaya hidup beberapa waktu ke depan :D), meminimalkan bepergian kecuali untuk urusan belanja.
Satu minggu setelah dari Bali, semakin banyak baca, saya menyadari bahwa mual, muntah serta diare adalah sebagian dari beberapa gejala yang dialami oleh penderita positif Covid-19. Deg. Di saat itu saya langsung kepikiran. Saya hubungi papa, saya ceritakan kondisi saya, dan saya pun diminta untuk dilakukan tes Covid-19. Dan seperti sudah kalian semua tahu, saya dinyatakan positif.
Mengingat bahwa beberapa bulan lalu saya habis operasi besar dan saya juga punya riwayat penyakit asma parah, dokter menganggap komorbid saya tinggi (penyakit lain yang dapat memperparah), maka tingkat kematian saya juga tinggi, makanya saya langsung rawat inap di ruang isolasi.
Nggak pernah terbayang, saya yang tadinya bisa santai-santai di rumah bersama anak, belanja keperluan rumah mingguan, tiba-tiba Tuhan langsung memindahkan saya ke ruang isolasi dengan para perawat mengenakan baju astronot berseliweran mengurus saya. Dan saya sebagai pasien hanya bisa hope for the best.
Well, untuk kalian yang ‘hanya’ terjebak di rumah atau apartemen, bersyukur deh kalian terjebaknya masih di situ, bukan di rumah sakit atau ruangan isolasi :).
Demamnya sendiri pun baru muncul di hari pertama saya masuk ruangan isolasi, di angka 38-39. Aneh banget deh si virus ini.
Dan tahu nggak rasanya ketika kita menjadi pasien Covid-19? Dalam kasus saya, jujur, mental saya drop.
Apalagi dokter ahli Covid yang menangani saya orangnya sangat jujur dan menjelaskan dengan detail tentang pengobatan dan kans yang saya hadapi. Pahit kadang, tapi membuat saya jadi tidak meremehkan penyakit ini!
Satu hal yang ingin saya sampaikan ke kalian, ini virus masih baru, semua peneliti di belahan dunia mana pun masih mempelajarinya, termasuk dokter-dokter di Indonesia. Virus ini belum ada obatnya, apalagi vaksinnya.
Obat yang saya terima? Ibarat kata coba-coba aja dengan obat yang udah dicobakan untuk semua pasien Covid-19. Masalahnya adalah, obat ini belum tentu cocok diterapkan untuk semua pasien. Obat yang berhasil menyembuhkan si pasien A, bisa jadi nggak ada hasilnya ketika diberikan ke saya. Benar-benar trial and error. Jadi kebayang kan, apa pun bisa terjadi dengan diri saya.
Maka, jujur saya sedih banget, ketika di luar sana, masih banyak di antara kita yang kongkow-kongkow di restoran, masih ada perusahaan yang tetap memaksa karyawannya masuk, masih ada televisi atau public figure yang syuting, seolah-olah ini penyakit bisa diobati dengan obat warung pinggir jalan.
Tolong pahami, bahwa there are no medicine to cure this, ketika kita atau orang-orang yang kita sayang terkena penyakit ini. We could die anytime. Paham nggak sih kalian? Orang-orang yang kalian sayang, orang-orang di sekitar kalian, bisa aja sekarat kemudian meninggal karena perilaku abai kalian.
Sebelumnya, saya sama seperti kalian. I didn't even care sampai saya menjadi korban. Dan ketika sekarang, saya menceritakan ini ke kalian, saya sedang sendirian di ruangan isolasi. Nggak bisa ketemu keluarga, nggak bisa ketemu anak saya. Dan itu rasanya berat banget.
Dokter bilang KALAU semua baik-baik saja, dalam dua hingga tiga minggu depan saya boleh pulang. Bisa bayangkan saya nggak ketemu orang-orang yang saya sayang selama itu karena sakit, bukan karena lagi jalan-jalan ke negara mana gitu! Dan belum tahu apakah saya bisa selamat atau nggak. Ditambah, saya juga degdegan menunggu hasil tes anak saya.
Konyol kalau semakin banyak anak kehilangan atau dijauhkan dari orang tuanya karena kelengahan kita. Bukan hanya kalian yang butuh biaya untuk hidup, saya juga. Bukan hanya kalian yang pusing sama cicilan. Saya juga kok.
Makanya, tolong banget patuhi aturan untuk diam di rumah selama 2-3 minggu. Kita akan berasa berat memang, finansial berantakan, tapi setelahnya kita bisa bangkit sama-sama.
Tolong bayangkan sejenaaaak saja, apa jadinya jika wajah-wajah ketakutan di dalam ruang isolasi, jika wajah-wajah lelah di balik masker dan APD di rumah sakit itu adalah wajah-wajah orang yang kalian sayang.
Kalian tahu, bahwa banyak dokter dan perawat di IGD yang sudah positif namun gejalanya ringaaaan banget. Harusnya mereka beristirahat, tapi demi melindungi rekan sejawat lain yang masih sehat, mereka berkorban untuk tetap berada di garda terdepan! Tenang, mereka menggunakan APD yang sesak dan ribet banget itu makenya, jadi mereka tidak akan menjadi sumber penularan. Tapi kebayang kan, kalau ada orang lain yang segitunya mau berkorban, masa iya kita yang hanya perlu diam #dirumahaja keberatan?
Perjalanan saya masih panjang. Semangat juga untuk sesama pasien Covid-19. Semoga kita bisa bertemu dalam kondisi yang lebih baik.
Sebelum kalian selesai membaca tulisan ini, saya mau menutup kisah saya dengan tulisan ini:
If Public Health called tomorrow and told you that you had tested POSITIVE for COVID-19 and asked you to list all the places you had been and all the people you had been contact with for the last 14 days, would you be proud of yourself, or embarrassed by your actions?
No need to comment, just THINK about it!
Ly, 35 tahun, ibu bekerja dengan satu anak