Niatnya basa-basi atau bercanda, tapi malah jadi menyakiti bahkan menjatuhkan sesama perempuan. Makanya hati-hati kalau mau mengeluarkan pernyataan atau pertanyaan, ya. Salah pilih, bisa bikin orang sakit hati.
Image: by Jude Beck on Unsplash
Suatu hari di sebuah acara saya ditegur seorang teman perempuan yang sudah lama tidak bersua. Kalimat persisnya nggak usah lah ya saya tulis, intinya dia melakukan body shaming ke saya. Parahnya, nggak hanya dilakukan sekali, tapi di dua kalimat berbeda. WOW! Saya pikir, jabatan top seseorang dalam sebuah perusahaan, berbanding lurus dengan keahlian dia memanusiakan manusia, ya. Faktanya dan sayangnya, nggak selama seperti itu mommies ☹
Baca juga: Meira Anastasia: Ajak Perempuan Berani Terima Ketidaksempurnaan Diri
Sambal ngopi menunggu acara dimulai saya jadi mikir. “Duuuh, jangan sampai mulut saya, sama jahatnya seperti orang itu.” Inilah salah satu bukti, bahwa sesama perempuan rentan saling menjatuhkan. Lalu apa saja hal yang sebaiknya kita hindari supaya tercipta energi positif sesama perempuan?
Sedekat apapun hubungan kita sama teman atau sahabat, bertanya atau melontarkan pernyataan soal sesuatu yang berhubungan dengan bentuk tubuh tuh hukumnya “haram.” Ganti deh pertanyaan yang aman tapi tetapi menunjukkan kepedulian kita.
-“How’s life?”
- “Gimana kabar elo dan keluarga? Sehat kan?”
- “Kerjaan kantor lancar-lancar aja?”
Kita nggak pernah tahu sedalam apa kata-kata yang nggak berkenan “menancap” di hati orang lain. Lebih baik sortir kalimat yang mau kita bicarakan, daripada bikin hari orang lain seharian dilanda bad mood.
Baca juga: Masalah Perempuan Saat Ini, Apa Saja?
Pencapaian hidup masing-masing orang nggak akan pernah sama. Begitu juga dengan persepsi sukses. Ada yang mengartikan sukses karena bekerja di perusahaan besar. Ada juga yang menganggap, sukses itu artinya bisa membuka lapangan pekerjaan, walau masih sekala industri rumahan.
Di sisi lain ada yang berpikir, sukses artinya kalau sudah menikah dan punya anak. Nggak selama begitu. Saya sendiri punya pendapatan, menikah dan punya keturunan adalah pilihan, bukan pencapaian.
Jadi please, jangan lagi ada pertanyaan semacam:
“Jadi kapan nikah sih sama A, kayaknya sudah lama banget deh pacarannya?”
“Gimana, gimana sudah “isi”belum?”
Ini berlaku pada ranah apapun. Ya pekerjaan atau kegiatan sehari-hari. Sebaiknya pahami dulu kesalahan mendasar apa yang mau kita kritik. Lalu lihat juga dengan jeli waktu kita melontarkan kritikan. Jangan lah di jam-jam yang padat deadline pekerjaan. Sudah penat sama kerjaan, ditimpa sama kritik yang tak disampaikan dengan santun – serasa kepala mau pecah!
Tulis dulu kalimat kritikan yang mau disampaikan, bisa di notes atau file word. Lalu baca berulang kali. Seakan-akan, hal itu akan ditujukan ke diri kita. IMHO, saya selalu menggunakan prinsip, “try to put yourself in their shoes.” Nantinya akan lebih mudah untuk meramu kata-kata yang tetap efektif untuk memberik koreksi, tapi juga tetap menggunakan hati.
Tiap pasangan dan keluarga punya nilai-nilainya sendiri dalam membesarkan dan mendidik anak. Begitu juga soal cara yang ditempuh, agar keluarga punya kualitas hidup yang mumpuni. Semua orangtua pasti dong mau yang terbaik buat anaknya. Sayangnya suka dibikin patah semangat sama orang-orang yang tak punya hati mengomentari seputar urusan melahirkan, ASI sampai bagaimana strategi kita bertahan hidup.
“Wah sayang banget ya jadinya operasi SC, padahal udah pembukaan terakhir”
“ASI-nya nggak lancar, pasti karena ibunya jarang minum air putih”
“Pantesan lebih dekat sama mbaknya, ternyata ibunya kerja sih, ya”
“Kasihan banget jadi anak daycare, nunggu lama di sana. Nggak takut tuh, di sana diapa-apain sama miss-miss-nya?”
-
Apapun pilihan teman, sahabat atau saudara kita, dukung semaksimal mungkin, semangati mereka melalui berbagai fase dalam hidup.
Baca juga:
Persepsi Sesama Perempuan yang Ingin Diubah