Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sekolah Juga Bertanggung Jawab Mengajarkan Sikap Inklusif pada Anak Murid
Jangan sekadar memiliki label sekolah inklusif namun kemudian lupa mengenalkan konsep inklusif kepada anak-anak murid di sekolah.
Tanggung jawab mendidik anak yang paling utama memang di tangan orang tua. Tapi mengingat bahwa sebagian besar waktu anak usia sekolah dihabiskan di sekolah, maka suka tak suka, sekolah juga memiliki peran besar menciptakan manusia yang memiliki budi pekerti baik.
Beberapa waktu lalu kita sempat dibuat emosi dengan beredarnya video seorang anak berkebutuhan khusus yang ditendang dan dipukul oleh tiga orang siswa lain. Perundungan yang terjadi di daerah Purwerejo ini sampai menarik perhatian Gubernur Jawa Tengah. Ada berita yang mengatakan kalau pelaku marah karena korban kerap melaporkan kenakalan mereka ke guru, ada juga yang mengatakan kalau pelaku menganggap korban adalah anak yang aneh.
Dan kali ini fokus saya lebih kepada point ke dua, mengenai ketidakmampuan pelaku menerima kondisi korban yang berbeda dari mereka. Mungkin ini salah satu tantangan sekolah-sekolah di Indonesia ya, mengajarkan konsep inklusif kepada para anak murid.
Mengingat jumlah murid di sebuah sekolah itu kan nggak sedikit ya, belum tentu semua murid diajarkan mengenai inklusif oleh para orang tua di rumah. Maka tak ada salahnya jika pihak sekolah sendiri cukup aktif mengajarkan sekaligus mengenalkan konsep inklusif ini ke anak-anak murid yang ada di sekolah tersebut. Apalagi jika sebuah sekolah mengklaim bahwa sekolahnya adalah sekolah inklusif yang menerima siswa-siswi berkebutuhan khusus.
Saya pun mengajak ngobrol mbak Vera Itabiliana, S.Psi, Psikolog mengenai konsep sekolah inklusi dan apa saja yang perlu dipahami oleh pihak sekolah, orang tua murid hingga anak didiknya.
Apa yang harus dilakukan pihak sekolah agar anak didiknya yang berkebutuhan khusus dapat diterima oleh siswa non ABK lainnya?
Sekolah perlu membangun iklim yang menghargai individual differences. Bahwa setiap orang berbeda dan itu biasa. Tentu sampai batas tertentu harus ada kompromi jika ada benturan kepentingan tapi tidak saling mengolok karena berbeda atau menganggap aneh karena berbeda. Guru juga selayaknya memberikan pemahaman pada siswa tentang keunikan temannya dan apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu. Guru perlu memberikan contoh mengapresiasi ABK bukan mencemooh sehingga siswa lain akan meniru, misalnya dengan tidak memberikan komentar seperti "Ah dia sih memang lambat, kita lanjut saja ya ke halaman berikutnya." Mungkin tidak bermaksud menyakiti tapi siswa lain jadi ikut merendahkan.
Lalu, selain mengedukasi siswa, sekolah juga bisa membantu orang tua lain untuk menanamkan nilai-nilai inklusif pada anak, misalnya dengan menjelaskan di awal pendaftaran sekolah bahwa sekolah ini menerima ABK, dan banyak hal positif yang bisa dipelajari oleh seorang anak dengan bersekolah di sekolah inklusi seperti: belajar menghargai sesama manusia, mengembangkan empati, membantu orang lain, mensyukuri kondisi diri.
Bagaimana dengan bekal kompetensi yang dibutuhkan oleh guru dari sekolah inklusi?
Tenaga pengajar harus paham tentang perkembangan anak, paham tentang jenis kebutuhan khusus, dan komitmen tulus menjadi seorang guru, serta jangan lupa menyertakan hati.
Bicara tentang kasus bully terhadap ABK, apa sebab utama seseorang melakukan bully ke ABK?
Pelaku biasanya adalah anak yang dominan, sering melakukan kekerasan atau bersikap kasar, sulit mengendalikan amarah, manipulatif, cenderung menyalahkan orang lain, suka mencari perhatian, ingin selalu menang dan menghindar dari tanggung jawab.
Penyebabnya apa? Bisa jadi karena pelaku ingin terlihat berkuasa, atau pola asuh yang selama ini dia terima yang membuat anak menjadi pelaku bully. Cara orang tuanya menerapkan disiplin selama ini. Ekspresi emosi yang kurang tepat dari orang tuanya, bahkan jangan-jangan anak ini juga menjadi korban bully di rumahnya. Hal lainnya, bisa juga ini dampak dari tontonan/permainan yang dia miliki hingga teman bergaul yang salah.
Baca juga:
Sikap Orang tua yang Keliru Dapat Menjadikan Anak Pembully dan Korban Bully
Ketika terjadi pembullyan terhadap ABK sejauh apa tindakan tegas yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah terhadap pelaku?
Setiap sekolah sudah punya aturan konsekuensi untuk pelaku bully, tinggal diterapkan sisi aturan saja. Yang jelas pelaku perlu mendapatkan konsekuensi termasuk harus minta maaf pada korbannya secara langsung.
Bagaimana, orangtua non ABK bisa mengajarkan anak untuk bisa menerima kehadiran ABK ini?
Ajak anak melihat dari kacamata temannya yang ABK, lalu ajak anak berdiskusi tentang apa yang bisa dia lakukan untuk membantu termasuk jika ada anak lain yang membully ABK.
Terakhir, jika anak kita menjadi saksi dari tindakan bully ini, pesan apa yang bisa kita sampaikan ke anak?
Ajak anak bicara untuk membahas apa dampak dari bullying ini. Anak perlu tahu bahwa bully merupakan tindakan salah yang membawa dampak negatif. Dengan memahami ini, anak diharapkan tidak meniru dan mau melakukan sesuatu untuk menghentikan bully. Sadarkan anak bahwa ini merupakan tanggung jawabnya juga untuk menghentikan bully meskipun dia bukan korban atau tidak kenal dengan korban. Seringkali yang menghambat saksi untuk melapor adalah alasan takut dibilang pengadu. Oleh karenanya, ketika anak sudah sadar bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan bully, diskusikan dengan anak cara-cara yang dapat dia gunakan untuk menghentikan bully. Misalnya melaporkan tindakan bully secara diam-diam pada guru. Diskusikan pula dengan anak bagaimana dia bisa membantu memulihkan korban, seperti tetap mengajak korban bermain bersama.
Baca juga:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS