Ternyata, nomor satu cukup membuat saya kaget sih. Oh ternyata, ini yang dirasakan oleh banyak perempuan.
Dulu, alasan remeh temeh dan receh saya ketika saya nggak kepingin punya anak perempuan adalah, karena saya nggak mau ada saingan di dalam keluarga. Saya tetap harus jadi satu-satunya perempuan dan juga yang paling cantik di tengah-tengah keluarga kecil yang kelak saya miliki. Yes, seremeh itu *__*.
Karena dulu, saya merasa bahwa hidup sebagai perempuan atau pun laki-laki di negara Republik Indonesia ya sami mawon. Sama aja tantangannya. Sama aja enak nggak enaknya. Bedanya hanya di jenis kelamin. Titik.
Tapi jika detik ini saya ditanya, maka jawaban saya adalah: Ribet punya anak perempuan di Indonesia. Banyak tuntutan dari keluarga dan pasangan. Gampang banget dijadikan ‘tumbal’ sebagai sebab musabab untuk kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki. Aturan-aturan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang kadang berat sebelah merugikan perempuan. Dan sederet alasan lain yang bikin capek hati. Kok nelongso amat jadi perempuan hari gini. Bukannya makin maju dan berkembang, malah ada segelintir orang yang ingin membuat perempuan jadi kembali ke zaman batu.
Bicara tentang perempuan, di bulan Maret ini akan ada Hari Perempuan Internasional, di mana campaign untuk 2020 ini adalah I Am Generation Equality: Realizing Women’s Right. Memahami hak-hak perempuan untuk mencapai kesetaraan.
Bagi saya pribadi, sebelum menuntut kesetaraan, memang sebaiknya kita para perempuan paham dulu hak-hak apa saja yang kita miliki. Tapi di luar dua hal itu, jangan abai juga dengan masalah-masalah besar apa saja yang sebenarnya kita hadapi. Agar semua bisa berjalan beriringan.
Saya pun mencoba bertanya ke banyak perempuan dan juga laki-laki mengenai: Masalah apa sih yang dihadapi oleh perempuan Indonesia saat ini? Dan jawaban paling banyak cukup membuat saya kaget, karena tadinya saya berpikir urusan pelecehan seksual akan menempati urutan pertama.
Iya, sesama perempuan yang seringkali merasa lebih benar, lebih baik, lebih paham untuk menghakimi perempuan lain yang tidak sesuai dengan standar yang mereka miliki. Sesama perempuan yang kerap melontarkan komentar-komentar negatif cenderung menjatuhkan dengan kalimat-kalimat yang jahat. Apalagi di dunia maya. Menyedihkan memang ketika mereka yang seharusnya memiliki perjuangan yang sama dengan kita malah berbalik menjadi lawan paling berat. Bisakah kita mengubah itu semua?
Budaya patriarki yang dianggap sudah mengakar dan mendarah daging di Indonesia, sehingga dianggap normal dan wajar bahkan dimaklumi. Menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan dan sedihnya lagi, budaya patriarki ini membuat dominasi laki-laki tak hanya mencakup ranah personal namun juga ranah politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain. Tak heran, budaya ini membuat munculnya berbagai kekerasan terhadap kaum perempuan.
Ternyata banyak yang menganggap para influencer di social media yang ‘rakus’ dan tidak pernah menyaring apa pun endorsement yang mereka terima selama itu menguntungkan, tak peduli berbahaya atau tidak, sebagai salah satu problem yang dihadapi perempuan saat ini. Para influencer yang juga hanya menampilkan kesempurnaan juga dinilai menjadi salah satu penyebab meningkatnya stress di kalangan ibu-ibu muda.
“Kenapa sih influencer-influencer itu nggak bersikap layaknya manusia aja yang ada kekurangan juga?”
Untuk point nomor tiga, saya sih merasa, tak peduli apa pun yang kita lihat di social media, kita kok yang punya kuasa penuh untuk mau mempercayainya atau tidak.
Selanjutnya masih ada tentang pelecehan seksual, aturan agama yang sering disalahartikan, pola pikir masyarakat yang masih menganggap perempuan alias ibu yang bertanggung jawab penuh terhadap anak dan rumah tangga.
Semoga saja, ketika kita melihat daftar masalah-masalah ini, kita tak menjadi bagian di dalam kelompok yang membuat masalah-masalah ini muncul, namun sebaliknya kita menjadi bagian untuk mencari solusinya.
Selamat menikmati bulan Maret ….