Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Apakah kita menjadi bagian dari orang-orang yang salah kaprah ini? Salah satunya fokus pada bully namun abai mengenai kesehatan mental?
Meninggalnya SN, remaja berusia 14 tahun karena bunuh diri, beberapa waktu lalu mengejutkan banyak pihak. Kasus ini juga menjadi perbincangan ramai di jagad maya dengan kemunculan tagar #RIPNadila #RIPNadia yang sempat menjadi trending topic di Twitter selama 2 hari. Seperti yang ramai diberitakan, SN melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya, pada sore hari.
Baca juga:
Kenali Tanda-tanda Anak Ingin Bunuh Diri
Sebetulnya, kejadian bunuh diri yang menimpa remaja, bukan hal baru yang terjadi di masyarakat kita. Yang membuat kasus ini berbeda adalah adanya sebuah screenshoot percakapan terakhir dengan temannya, yang beredar di media sosial. Screen shoot tersebut seolah menjadi satu-satunya ‘petunjuk’ tentang misteri kematiannya. Kontroversi pun menyeruak, karena ada pernyataan korban yang mengatakan dirinya mengalami kekerasan fisik. Seperti bola liar, tetiba netizen pun ramai-ramai berasumsi sendiri. Muncul beragam versi tentang kronologi kematiannya.
Berseliweran di media, pernyataan tentang penyebab bunuh dirinya SN, antara lain, dari pihak sekolah, Dinas Pendidikan, dan keluarga. Pihak sekolah mengatakan, tidak ada aksi bully di sekolah. Ada pula yang mengatakan, SN mengalami masalah keluarga, karena meninggalnya ibunda. Sementara, dari keluarga, menulis status tentang fenomena bullying di sekolah sekarang biasa dilakukan secara verbal. Statusnya juga seolah menyalahkan, guru dan pengajar, yang seolah melakukan pembiaran, dengan adanya kebijakan pembiaran membawa gadget ke sekolah, menjadi salah satu faktor bullying semakin menjadi-jadi. Seolah semua pihak berusaha mencari kambing hitam tentang siapa sebetulnya yang salah.
Premis bahwa SN meninggal karena dibully, memunculkan pertanyaan, siapakah pelakunya? Lantas, muncul komentar-komentar di Twitter, yang mengatakan, para pembully harus diberi pelajaran. Supaya tidak ada lagi SN-SN yang lain. Sayangnya, jika diamati, aksi mencari pelaku ini pun seolah membully secara online orang-orang di sekitar pelaku.
Tanpa menuduh siapa menutupi apa, tetapi kalau saya lihat-lihat dari tagar #RIPNadila #RIPNadia, ada pernyataan yang bilang bahwa screenshot WA story yang beredar, ada yang dibilang hoax. Nah, lho, jadi simpang siur. Ada pula, kemunculan akun-akun Twitter baru yang ikut berkomentar, yang mengatakan dirinya adalah teman SN. Lalu dia pun memaparkan fakta-fakta tentang SN, seolah dia orang paling dekat SN. Di era post-truth seperti sekarang, ada saja pihak-pihak yang berusaha mengaburkan fakta.
Banyak orang mendadak berlagak jadi detektif. Hanya dengan mengumpulkan kepingan story dari WA, Instagram, lalu mengambil kesimpulan sendiri. Lalu kesimpulannya di-share di media sosial.
Baca juga:
Kenapa Kesehatan Mental Begitu Penting Untuk Orang tua?
Dari semua hiruk pikuk komentar di media maupun di tagar Twitter, menurut saya, kesalahan terbesar dari banyak pihak adalah tidak menganggap kasus ini sebagai masalah kesehatan mental. Betul bahwa ada banyak sekali faktor penyebab seorang remaja melakukan bunuh diri. Jadi korban bully, salah satunya. Tetapi, yang perlu diketahui, masalah bunuh diri adalah masalah global. Menurut data WHO, di tahun 2016, kasus kematian sebanyak 62 ribu remaja adalah karena self harm (termasuk bunuh diri). Kondisi depresi pada seseorang, dimulai dari usia 14 tahun. Itulah kenapa, kita tidak bisa menganggap enteng depresi.
Masalah kesehatan mental ini juga sedang menjadi sorotan di World Economic Forum. Menurut majalah Time, di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta remaja, dari usia 12-17 tahun mengalami periode MDE atau major depressive episode. Ciri seseorang mengalami MDE adalah penderita mengalami suasana hati yang tertekan selama dua minggu berturut-turut atau lebih. Mereka kehilangan minat atau kesenangan dalam kegiatan sehari-hari, disertai dengan gejala lain seperti perasaan hampa, putus asa, kecemasan, tidak berharga, rasa bersalah, lekas marah, perubahan nafsu makan, masalah konsentrasi, susah mengingat detail, atau membuat keputusan, dan munculnya pikiran untuk bunuh diri.
Aksi bullying memang patut dikecam, tetapi sekarang ada yang jauh lebih penting daripada mencari pelaku bully dan mengeksposnya secara online. Tren depresi yang mengancam para remaja. Para orangtua, terutama, harus lebih aware tentang perilaku ABG-nya, mana yang karena pubertas biasa, mana yang perlu diwaspadai mengarah ke depresi. Remaja yang sudah menunjukkan gejala mengalami MDE, harus segera mendapatkan penanganan.
Baca juga: