banner-detik
SELF

Toxic Positivity: Ketika Yang Positif Tak Selamanya Baik

author

annisast16 Jan 2020

Toxic Positivity: Ketika Yang Positif Tak Selamanya Baik

Segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, kan? Begitu pula dengan sesuatu yang sebetulnya positif, namun berlebihan dan tidak pas di tempatnya.

vitamin d matahari

Beberapa tahun lalu, pola pikir positif ini sempat jadi tren. Orang berusaha selalu positif dan good vibes only. Orang yang negatif akan dijauhi.

Pokoknya kita harus selalu melihat sisi positif dari segala sesuatu. Semua yang negatif harus dijauhi karena negatif itu tidak baik. Emosi kita harus selalu positif. Semangat! Kamu masih lebih beruntung dari orang lain. Ayolah jangan negatif terus! Bahagia ajalah toh masih punya XYZ, lihat dong sisi positifnya!

Tapi kemudian baru disadari kalau terlalu positif juga memuakkan dan tidak sehat secara mental. Lahirlah istilah toxic positivity.

(Baca: Tuhan, Jauhkan Anak Saya dari Teman-teman yang Toxic)

Toxic positivity adalah konsep di mana semua emosi haruslah baik dan menolak semua emosi negatif. Padahal, emosi itu memang ada positif dan negatif, yang perlu kita lakukan kalau kita mengalaminya adalah MENYADARI emosi tersebut dan jangan terkuasai.

Kalau dari sisi orang yang dicurhati, yang perlu kita lakukan adalah berempati, memvalidasi dulu emosi negatif orang tersebut dan bertanya apa perlu solusi? Atau hanya ingin bercerita saja?

Emosi, baik positif atau pun negatif, membantu kita memahami situasi lebih detail lagi. Dengan demikian, kita jadi tahu apa yang mental kita butuhkan saat itu, sehingga bisa jadi lebih sehat.

Contoh: Sedih karena gagal pitching lalu rasanya ingin menangis saja.

Toxic positivity datang dengan “yaelah gitu aja sedih, udalah yang penting kan …. “ Sementara validasi emosi akan lebih sehat untuk mental kita “iya sedih banget ya, nangis dulu deh puas-puasin” baru setelah itu bisa berpikir kenapa ya bisa seperti ini, dll.

Yang penting apa? Yang penting menangis lah dengan sadar, marah lah dengan sadar, sehingga kita tidak terkuasai emosi tersebut dan tidak berlarut-larut.

(Baca: Apakah Kita Mangsa Empuk Toxic People?)

Begitu juga ketika menghadapi emosi anak, anak boleh lho menangis, marah karena kecewa, atau sedih. Asalkan beritahu ia cara mengeluarkan emosi dengan aman yaitu dengan tidak merusak barang atau menyakiti diri sendiri. Lalu validasi emosinya "iya mama tahu kamu sedih sekali, tidak enak ya rasanya" atau "mama ngerti kamu marah, marah boleh kok, kamu kan manusia", dan lain sebagainya.

Karena merasakan semua emosi itu manusiawi. Justru kalau dipendam atau disangkal eksistensinya, lama-lama akan menumpuk dan jadi masalah kesehatan mental yang lain. Mengakui semua emosi, membuat kita lebih jujur pada diri sendiri dan memahami apa yang sebetulnya kita butuhkan.

Yuk, lebih sadar pada emosi diri sendiri!

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan