Kim Ji Young Born 1982: Perjuangan Seorang Anak, Istri, Ibu, Sekaligus Perempuan

Work & Career

dewdew・03 Dec 2019

detail-thumb

Film yang bercerita soal sosok Kim Ji Young Born 1982, tumbuh di tengah budaya patriaki yang telah mengakar ratusan tahun di Korea Selatan. Benturan apa saja yang ia hadapi? antara nilai-nilai dirinya, dengan budaya patriaki yang suka tak suka wajib dilakoni. 

Kim Ji Young Born 1982 - Mommies DailyImage: hancinema.net

Korea Selatan boleh 1000 langkah lebih maju dalam bidang teknologi. Sebut saja electronic payment, home technology, hingga produksi sebuah merek smartphone sejuta umat itu. Belum lagi jika dilihat bagaimana transportasi umum, pariwisata hingga industri kecantikan di sana berkembang. Bila dibanding Indonesia, wah, kita ketinggalan jauh. Tapi rupanya tidak di bidang kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan. Menjadi seorang anak perempuan, istri, ibu, sekaligus perempuan di Korea Selatan tantangannya luar biasa, sangat rentan depresi. 

Baca juga: Mari Bersama Ciptakan Dunia yang Lebih Ramah Perempuan

Besar di lingkungan patriarki

Film yang berdurasi hampir 2 jam ini mengisahkan seorang perempuan bernama Kim Ji Young yang tumbuh dan berkembang di lingkungan patriarki yang kuat. Walau ibu dan ayah Ji Young lebih liberal dalam membesarkan anak-anaknya, tapi budaya patriarki nggak bisa jauh-jauh dari Ji Young.

Ji Young kecil tahu benar kalau anak laki-lakilah yang diutamakan dalam keluarga. Ji Young hafal cerita ibunya harus bekerja keras mencari uang, putus sekolah, demi membiayai pendidikan semua pamannya. Ji Young dan kakak perempuannya juga harus tebal kuping ketika keluarga besarnya ‘menuntut’ ibunya untuk punya anak laki-laki, walau sudah ada mereka berdua.

Ketika tumbuh besar Ji Young sadar kalau kaum laki-lakilah yang pegang peranan penting di segala lini. Ia harus mengalah pada kolega pria untuk masuk tim inti divisi pemasaran di perusahaan ia bekerja, kenapa? Bukan karena ia tidak kompeten, tapi karena perusahaan menginginkan tim jangka panjang, apa jadinya kalau diisi oleh karyawan wanita yang akan menikah dan punya anak? Semua pekerjaan yang dilakukan orang wanita yang sudah punya anak dianggap akan menurun performanya. Karyawan wanita pun mentok nggak bakal sampai duduk di kursi CEO. Ada, sih, tapi yang dikorbankan banyak. Nggak heran kalau hasrat punya anak di Korea Selatan saat ini menurun drastis.

Ketika Ji Young resign dari tempatnya bekerja karena memiliki anak, ia tak hanya bekerja keras mengasuh putrinya, tapi juga bekerja melayani keluarga suaminya. Perlu diketahui, di Korea Selatan ketika seorang perempuan menikah, maka ia pun dianggap sebagai pengabdi keluarga suami. Jadi, ya, kalau sampai mertua atau saudara dari suami berkunjung misalnya, Ji Young harus melayani mereka mulai dari makan, buka botol minum (padahal ya harusnya bisa sendiri, deh) hingga beres-beres. Kebayang nggak? Sudahlah capek ngurusin toddler, susah punya ART karena gajinya mahal, kudu masak buat keluarga besar yang menu condiment-nya seabrek-abrek, hingga akhirnya memicu depresi pada Ji Young. 

Ji Young sebenarnya memiliki suami yang mencintainya sepenuh hati dan sangat pengertian. Suaminya bahkan rela ambil cuti melahirkan setahun (di Korea pria juga dapat jatah cuti melahirkan) agar Ji Young bisa kembali bekerja seperti yang selama ini diinginkannya. Hanya saja Ji Young tak sampai hati, belum desakan mertuanya (yang dari neraka) yang mewanti-wanti bahwa perempuan itu tugasnya di rumah. Tekanan budaya patriarki pelan-pelan melahap jiwanya.

Ideologi selama 500 tahun

Film yang diangkat dari buku karangan Cho Nam-juu ini belum syuting saja sudah menuai banyak kontroversi. Nggak heran, karena bukunya sendiri juga mendapat banyak penolakan. Akun instagram Jung Yu Mi yang menjadi peran utama dibanjiri hate comments, padahal proses shooting belum juga mulai. Suzy Bae dan Irene Red Velvet, selebriti perempuan di Korea juga dihujani komentar negatif ketika kedapatan tengah membaca buku Kim Ji Young. Lucunya Gong Yoo justru terkesan nggak diapa-apain ketika confirmed menjadi pemeran utama pria. 

Baca juga: Mari Ajarkan Anak Laki-laki Kita Untuk Mendukung Perempuan Berdaya

Oleh sebagian besar pria dan barisan anti feminis di Korea, buku dan film ini dianggap menggambarkan bahwa pria Korea adalah kaum penindas. Sekilas memang seperti itu, namun tak bisa sepenuhnya disalahkan. Budaya patriarki telah begitu mengakar selama 500 tahun di sana. Menurut Afriadi seorang pemerhati budaya Korea, walau liberalisme seolah begitu masif dipercaya dan dijalankan oleh masyarakat Korea, tetap saja pada kenyataanya imbas dari 500 tahun paham yang berasal dari konfusianisme itu masih ada dan terasa. Tidak mungkin mudah mengubahnya menjadi liberal selayaknya negara Eropa misalnya. 

Di mulai dari kerajaan Joseon, istri atau perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang tidak bisa hidup sendiri. Selama masa hidupnya perempuan harus bergantung pada 3 sosok laki-laki. Semasa kecil hingga dewasa dia bergantung pada ayahnya. Semasa setelah menikah pada suaminya dan setelah suaminya meninggal maka dia harus ikut anak laki-lakinya.

Istri yang baik adalah istri yang dapat melahirkan anak laki-laki sebanyak mungkin, begitupun sebaliknya, istri yang buruk adalah istri yang tidak dapat memberikan keturunan laki-laki pada satu keluarga. Dengan begitu pula secara alami, marga diturunkan kepada anak laki-laki dan harta warisan juga harus dikelola oleh anak laki-laki. Kondisi  demikian ditanamkan terus pada bangsa Korea dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman sehingga diterima oleh masyarakat sebagai ideologi bahwa masyarakat madani dan harmonis haruslah demikian. Ini yang membuat posisi wanita menjadi tertekan di masyarakat Korea. 

Kisahnya relatable

Walaupun di Indonesia kesetaraan gender lebih baik, masalah-masalah yang dihadapi Ji Young terutama ketika menjadi istri dan ibu, nggak jauh-jauhlah sama yang kita hadapi. Drama mencari pengasuh yang sesuai budget, tantangan menghadapi mertua, pekerjaan rumah yang nggak beres-beres, hingga judgement dari orang-orang di lingkungan sekitar ketika kita sedikit saja membuat kesalahan, bikin kepala mau pecah. Mungkin terlihat sepele bagi mereka yang tidak mengalaminya, tapi saya yakin, kita sebagai perempuan, working mom atau pun bukan, sebagai ibu, pasti mengerti banget perasaan Ji Young ketika ia mengalami itu semua. Kita juga pasti bisa mengerti kenapa hal-hal yang kelihatannya sepele bisa memicu seorang ibu depresi dan meledak. Seperti apa Ji Young ketika ia meledak? Saya rasa mommies harus menontonnya sendiri, karena di situlah letak twist-nya. Happy watching! Jangan lupa bawa tissue, karena besar kemungkinan anda ikut nangis saat menontonnya. Oh ya, jangan berharap Gong Yoo di sini bersinar layaknya di drama Goblin. Tapi buat saya peran dia pas banget mengimbangi Jung Yu Mi yang jadi karakter utamanya.

Baca juga: Mendidik Anak Perempuan yang #AntiMenyeMenyeClub!

-

Di antara mommies, ada yang sudah nonton juga? silakan ikutan review di kolom komentar, ya.