Ketahui perubahan emosi anak jelang remaja agar kita dapat membantunya untuk memahami perasaan dan perubahan emosionalnya sendiri.
Image: by Allef Vinicius on Unsplash
Seorang teman kemarin mengeluhkan bahwa anaknya yang sudah beranjak remaja semakin baperan. “Menurutku dia terlalu sensitif, banyak hal yang semestinya nggak perlu dia baperin. Belakangan dia mulai nggak mau sekolah hanya karena dia nggak cocok sama seorang guru. Aku sudah bilang sama dia, dia nggak bisa meminta seluruh dunia untuk memahami dia seorang. Bagaimana pun kita juga harus bisa beradaptasi di mana pun kita berada,” terang teman saya tadi. Dipikir-pikir walau ada benarnya, tapi buat seorang anak yang beranjak remaja, kan,dunia tak sesimpel itu, ya. Apa lagi dibanding kita, dia kalah jauh di asam garam kehidupan. Plus terjadi perubahan hormon yang otomatis memengaruhi perubahan perilaku.
Menurut mbak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi.,Psi mood swing memang merupakan salah satu ciri-ciri perubahan emosi pada anak jelang remaja. Perubahan emosinya bisa naik dan turun dalam waktu yang relatif cepat. Sebentar baper, tak lama kemudian kembali ceria. Dia juga lebih gampang tersinggung. Tempo-tempo ia merasa sudah besar dan ingin punya kebebasan, tapi di lain waktu dia masih suka bergantung atau bermanja-manja pada orangtuanya. Labil istilah yang tepat.
Pada anak laki-laki dan anak perempuan sebenarnya perubahan emosinya sama saja, tapi wujud ekspresinya yang bisa berbeda. Anak perempuan cenderung lebih ekspresif, misalnya saja dengan menangis, curhat, atau, ya, merajuk. Sementara untuk anak laki-laki sebagian besar lebih banyak diam namun diekspresikan lewat aksi fisik seperti banting pintu, mogok melakukan sesuatu, atau keluar dari rumah.
Baca juga: 9 Hal yang Saya Pahami Ketika Membesarkan Anak Remaja
Supaya perubahan emosi pada si puber tertangani dengan baik, menurut mbak Vera lagi, orangtua sebaiknya tidak ikut terpancing oleh perubahan perilaku yang notabene sering bikin kita ikut kesal. Ketika menghadapi perilaku tersebut, coba untuk tarik napas, buang napas, dan tekankan pada diri bahwa ini hanyalah fenomena yang harus dilewati sebagai orangtua dengan anak yang mengalami masa puber. Kita, toh, dulu juga pernah begini, kan?
Akan lebih baik kita diam dulu sebentar daripada terus menanggapi emosi anak, kebanyakan anak akan tenang dengan sendirinya tanpa perlu kita terus mendesaknya. Jadilah pendengar yang baik dan usahakan untuk memahami perasaannya.
Baca juga: 7 Pesan dari Remaja yang Harus Didengar Orang Dewasa
Sebagai orangtua, kita tetap punya tugas untuk mengarahkan agar anak tidak berlebihan dan tetap tahu apa, sih, hak dan kewajibannya. Misalnya saja, nih, dia kesal sama gurunya di sekolah, tapi baper-nya dibawa sampai ke rumah, adiknyalah yang dimarahi, ART diomeli, bahkan kitanya juga ikut dijudesin. Lah, yang salah siapa, yang dimarahin siapa? Walaupun perilaku jenis ini bikin kita banyak mengurut dada, usahakan untuk tidak bereaksi berlebihan. Ajak anak bicara, bantu kenali sumber pemicu emosinya dan diskusikan apa yang bisa dia lakukan untuk luapkan emosi, serta bicarakan juga alternatif solusi dari masalahnya.
Jika perubahan emosi ini membawa anak pada tindakan yang bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain, atau misalnya mengganggu aktivitas rutinnya, sudah saatnya orangtua meminta pertolongan ahli. Jika anak menolak diajak berkonsultasi pada psikolog, katakan padanya bahwa ayah dan ibu butuh masukan dalam menghadapi anak. Ayah dan ibu yang perlu ditolong, jadi seolah bukan anak sebagai fokusnya tapi psikolog yang akan membantu orangtua dalam melakukan pengasuhan yang tepat.
Baca juga: Ini Tantangan yang Dihadapi Para Ayah dengan Anak Remaja