Sorry, we couldn't find any article matching ''
5 Perbedaan Utama Antara Saya dan Ibu dalam Mendidik Anak Remaja
Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Meskipun saya berhasil melewati masa remaja dengan mulus. Namun saya tidak mau mendidik anak remaja saya dengan cara ibu dulu mendidik saya.
Banyak orang bilang, membesarkan remaja adalah fase yang sulit. Masa penuh pembangkangan, menghadapi roller coaster emosi, kemarahan yang sulit dijelaskan, cinta monyet, pubertas, belum lagi kerentanan terseret perilaku kenakalan dan pengaruh pergaulan. Flashback ke masa-masa kita remaja dulu, pernah senakal apa Anda dulu? Apa yang membuat Anda survive dari ‘dunia gelap’ remaja? Apa yang bisa dipelajari dari cara orangtua kita dulu mendidik kita saat melewati masa remaja?
Meskipun harus saya akui, saya berhasil melewati masa remaja dengan mulus, tanpa gejolak yang berarti. Namun demikian, saya tidak mau mendidik anak saya yang sekarang sudah memasuki usia remaja, dengan cara sebagaimana ibu saya dulu mendidik saya. Beberapa hal yang tidak saya sepakati itu, antara lain:
Disiplin berlebihan.
Dulu, orangtua saya otoriter. Terlalu banyak larangan tanpa sedikit pun boleh mempertanyakan alasan. Ya, pokoknya tidak boleh. Titik. Tidak boleh pulang lewat maghrib, tidak boleh main sama si A,B,C, tidak boleh pacaran, dan berbagai larangan lainnya. Apa-apa tidak boleh, sedikit-sedikit dimarahi. Menghadapi remaja sekarang perlu “strict, but not too strict.” Anak jika terlalu dikerasi, bisa jadi bumerang. Anak yang terlalu dibebaskan, juga tidak baik. Orangtua perlu tahu kapan harus disiplin ketat, kapan perlu ‘letting-go’; fleksibel dan memberikan ruang kebebasan pada anak.
Baca juga:
8 Hal yang Diinginkan Anak Remaja dari Saya Mamanya
Komunikasi searah.
Di mata orangtua, anak tidak punya hak untuk bersuara. Agar anak ‘selamat’, perlu diguyur dengan banyak ceramah dan nasihat. Komunikasi berlangsung satu arah. Sekarang, saya lebih banyak memosisikan diri sebagai pendengar. Anaklah yang harus banyak ngomong dan bercerita. Saya baru ‘menyelipkan’ ceramah jika diperlukan atau diminta. Selebihnya, betul-betul mendengar, tanpa menghakimi sehingga anak nyaman bercerita apa pun.
Tekanan untuk berprestasi di sekolah.
Ada tuntutan untuk membuat orangtua bangga dengan membawa pulang nilai bagus. Secara tidak langsung, orangtua merasa berhasil jika nilai anak bagus. Tugas anak hanyalah belajar (akademik) yang bener. Dulu, saya termasuk anak yang nilainya bagus. Tapi, jarang sekali mendapat pujian. “Kalau nilaimu bagus, ya memang seharusnya begitu. Kalau jeblok, itu namanya keterlaluan,” secara tidak langsung begitu yang saya tangkap. Sekarang, nenek masih suka nanyain nilai rapot cucunya. Suka terheran-heran sewaktu tahu kalau cucunya enggak pernah belajar dan enggak mikirin nilai rapot. Pengetahuan bukan hanya dari buku pelajaran sekolah, tapi ada banyak sekali ilmu yang jauh lebih menggugah akal budi dari buku-buku yang ditulis oleh para maestro, yang bisa dibaca langsung oleh anak. Lagipula, anak sekarang tidak perlu dituntut untuk menguasai semua bidang. Semakin lama, minatnya akan lebih mengarah.
Clueless tentang aturan memakai ponsel.
Zaman saya remaja dulu, belum ada smartphone. Kalau mau teleponan malam-malam, harus sembunyi-sembunyi ke luar rumah menuju ke telepon umum. Sekarang, nenek gagap menghadapi cucunya yang setiap saat tak terpisahkan dari smartphone. “Nanti kalau terpapar pornografi gimana? Kecanduan game?” pernah saya dicecar. Di satu sisi, ibu saya paranoid. Di sisi lain, setiap menengok cucu (yang masih balita terutama), neneknya malah menyodorkan smartphone ke cucu. Melihat mereka begitu bahagia dan bersinar-sinar wajahnya setiap dibukakan Youtube. Terus terang, buat saya, kok, malah lebih sulit mengatur orangtua agar tak kecanduan smartphone dan mudah terpapar hoax, ketimbang mengatur smartphone anak.
Baca juga:
Kesehatan Mental Remaja Semakin Buruk Karena Social Media
Seksualitas dianggap tabu.
Naksir-naksiran dengan lawan jenis? Bisa kena murka orangtua. Makanya, dulu, untuk urusan begitu, saya lebih memilih diam. Sekarang, orangtua harus menerima dan menemukan cara untuk menghadapi perkembangan seksual anak remajanya. Apa yang harus dilakukan saat muncul perasaan pada lawan jenis? Eits, jangan buru-buru mengecap anak bucin alias budak cinta. Orangtua perlu berefleksi, bagaimana batasan anak menunjukkan kasih sayang fisik? Aturan dan pedoman apa yang dibuat tentang kencan? Seberapa jauh kebutuhan privasi anak terpenuhi? Rasanya hal-hal seperti itu perlu dibahas saja buka-bukaan dengan anak. Biar tidak kaget-kaget belakangan.
Baca juga:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS