Sebelum iri sama kehidupan freelancer yang kesannya punya waktu fleksibel, coba baca tulisan saya dulu biar tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Enak, ya, sekarang Dew, jadi freelancer. Masih bisa cari duit, tapi waktu sesuka-sukanya ngatur, masih bisa sambil ngurusin anak pula,” begitulah komentar beberapa teman sesama ibu begitu tahu masa saya jadi pegawai kantoran sudah usai, berganti jadi ibu bekerja dari rumah alias mompreneur, alias freelancer. Eits, nggak semanis yang kamu bayangkan, Ferguso!
Freelancer, mompreneur, working-at-home mom, atau apa pun sebutannya, nggak jauh beda tanggung jawabnya dengan ibu bekerja kantoran, kok. Malah banyak hal yang terasa jauh lebih menantang dibanding saat masih bekerja 9 to 5 di kantor. Nggak percaya? Ini buktinya.
Baca juga:
Agar Anak Punya Jiwa Entrepreneurship
Di awal-awal merintis jadi mompreneur, freelancer, atau ibu yang bekerja di rumah, manajemen waktu adalah hal yang paling sulit untuk ditaklukkan. Seringkali kami ini kesulitan dalam membagi waktu antara urusan pekerjaan dengan urusan rumah tangga. Karena bekerja dari rumah, otomatis urusan-urusan yang tadinya kita tutup mata karena nggak kelihatan dari kantor, sekarang kelihatan jelas di depan mata.
Satu contoh kecil saja, rumah yang berantakan, cucian piring yang menumpuk, hingga urusan antar jemput sekolah. Pekerjaan yang tadinya dihandle oleh asisten rumah tangga, atau mungkin kakek nenek, sejak kerja di rumah, pekerjaan-pekerjaan tersebut rasanya ingin kita handle semua. Sekarang, kan, kerja di rumah, harusnya sih urusan-urusan kayak gitu udah bisa di-tackle sendiri, begitulah yang ada di pikiran ibu-ibu freelancer. Nyatanya, ketika semua mau dikerjakan, malah jadi keteteran. Urusan rumah tangga berantakan, urusan kerjaan nggak beres-beres.
Percayalah, pekerjaan dan mengurus anak atau rumah nggak bisa disambi. Jangan pernah berpikir ketika memutuskan untuk menjadi seorang freelancer, “Asyik, nanti pas kerja bisa sambil jagain anak.” Kecuali memang niat utama resign dari kantor adalah untuk mengurus anak, bekerja hanya untuk mengisi aktivitas ketika anak sekolah misalnya. Tapi kalau bekerja juga dijadikan sebagai salah satu sumber penghasilan utama, wah, beneran, deh, nggak bisa disambi.
Soalnya begini, ambil contoh saya saja, deh. Pekerjaan saya walau banyak di depan laptop, tetap saja butuh fokus dan konsentrasi. Terlihat bisa disambi ngurusin anak, padahal nggak sama sekali. Karena ketika kita nggak fokus, dan sibuk sama hal lain, otomatis pekerjaan kita akan lama kelarnya.
Sementara kita punya klien atau customer yang sedang menanti hasil pekerjaan kita sesuai deadline yang disepakati. Nggak mungkin, kan, kita cerita sama klien atau customer, “Tunggu, ya, anak saya lagi rewel nggak bisa ditinggal.” Memangnya mereka ‘peduli’ akan hal itu? Setiap orang punya urusan juga lho. Deadline pun sudah disepakati. Kita tetap harus profesional.
Partner saya di RSD Digital bahkan memiliki waktu khusus keluar dari rumahnya agar bisa bekerja fokus. Ketika ART sedang tidak ada, ia menitipkan anaknya di daycare lalu buka laptop di kafe dekat daycare tersebut. Jika dirasa pekerjaan sudah selesai, barulah ia menjemput anaknya. Partner saya yang satu lagi yang tadinya handle anaknya sendiri, akhirnya memutuskan untuk menggunakan jasa baby sitter. Hal ini menjadi penting karena anaknya sudah jelang balita, dan di usia-usia segini, wuih, butuh tenaga dan fokus yang lebih. Freelancer punya waktu lebih fleksibel? Ya. Tapi disambi? Nggak bisa!
Baca juga:
Ini, sih, yang paling nggak manis dalam Freelancer Lyfe hahahaha.... Karena itu kudu pintar mengatur pengeluaran. Klien atau customer nggak selamanya membayar tepat waktu (walau kita tetap harus submit pekerjaan sesuai deadline, uhuk) jadi seringkali rencana tak sesuai kenyataan. Misalnya saja, perkiraan kita akan memiliki 5 juta di bulan Agustus, tapi karena payment mundur, di bulan Agustus malah nggak punya uang sama sekali. Ada juga saat-saat di mana seluruh klien atau customer membayar di bulan yang sama. Duh, rasanya tajir sesaat. Padahal ya itu untuk kebutuhan 6 bulan ke depan. Jadi, ya, sama saja sebenarnya. Kalau nggak pintar atur pengeluaran, bisa habis dan bulan berikutnya gigit jari.
Belum lagi ketidakpastian di bulan-bulan berikutnya. Apakah client ini masih akan mempekerjakan saya, apakah customer saya masih akan membeli produk-produk saya? Serba nggak pasti, walaupun begitu sampai saat ini saya masih enjoy. Walau pun sering deg-degan juga kalau lagi cek rekening. Hahaha…
Moms yang senasib mau berbagi pengalaman? Yuk, di kolom komen. Biar bisa jadi inspirasi mommies lain yang lagi menimbang-nimbang, resign lalu jadi freelancer atau stay jadi ibu bekerja kantoran :)
Baca juga: