banner-detik
SELF

Untuk Para Orangtua Murid, Mari Pahami Tata Krama di WAG Sekolah

author

fiaindriokusumo15 Oct 2019

Untuk Para Orangtua Murid, Mari Pahami Tata Krama di WAG Sekolah

Iya, karena ternyata masih ada saja orangtua murid yang tak paham urusan tata krama dan etika dalam ber-whatsapp group.

Untuk mereka yang sudah punya anak usia sekolah, pasti paham rasanya memiliki WAG yang isinya orangtua murid dari sekolah anak kita. Jangan salah, satu anak belum tentu WAG sekolahnya hanya satu, bisa jadi minimal dua. WAG yang ada gurunya, dan WAG tanpa guru. Kalau punya anak lebih dari satu? Kalikan saja dengan jumlah anak yang kita miliki, hahahaha.

Kali ini saya nggak mau berhitung tentang jumlah WAG orangtua murid yang saya punya. Saya sekarang mau membahas, betapa ternyata, urusan tata krama, etika atau sopan santun dalam ber-whatsapp group itu masih banyak yang belum dipahami oleeeeeeeh ORANGTUA. Iyaaa, orangtua, bukan anak-anaknya malah :D.

Jadi, sebagai orang dewasa, mari yuk kita sama-sama saling belajar dan saling mengingatkan tentang tata krama be- Whatsapp Group. Saya paham, setiap orang pasti punya standar yang berbeda-beda, apa yang menurut saya rasanya nggak pantas, bisa jadi untuk pihak lain sah-sah saja, jadi apa yang akan saya tuliskan di sini murni pendapat saya, dan pendapat beberapa teman yang ternyata satu pemikiran dengan saya …tentang apa yang ingin saya hindari di WAG:

Etika di Whatsapp Group Sekolah - Mommies Daily

Menyudutkan seorang anak dan orangtuanya

Baru beberapa hari lalu ada contoh kasus menarik yang saya alami. Tiba-tiba WAG orangtua murid heboh dengan deretan image yang dikirim oleh salah satu orangtua murid. Image apakah? Screen capture obrolan anak-anak di WAG mereka sendiri. Iya, jadi ortu murid punya WAG, anak juga punya dong (usia anak sudah di atas 11 tahun).

Screen capture obrolan anak-anak yang salah satu anak terbukti menuliskan kata-kata kasar, foto porno hingga pengakuan bahwa dia gay. Orangtua murid sejagad WAG langsung heboh.

Paham banget kok, kenapa langsung pada heboh. Kaget sudah pasti. Khawatir anak-anak kita terpengaruh juga pasti ada. Besar banget malah khawatirnya.

Yang jadi masalah adalah, karena kemudian dicari tahulah siapa nama anak yang melakukan ‘dosa’ tersebut. Ketemu, posting di WAG namanya siapa. Dan kemudian terjadilah peringatan bahwa Gay itu menular dsb-nya.

Sekali lagi saya paham, kita sebagai orangtua khawatir.

Tapi coba sebelum kita menggeb-gebu menyebutkan nama anak, dan menuliskan hal-hal yang penuh penghakiman, kalau posisi dibalik, anak kita yang ternyata melakukan hal ini, apa kita mau nama anak kita dijembreng di WAG? Anak kita dicap nakal dan ancaman untuk teman-temannya?

Lalu mari pikirkan tentang orangtua si anak ... kira-kira seperti apa perasaanya orangtuanya, ketika melihat nama anaknya disebar begitu saja?

Shock, sama seperti kita, karena mereka pasti nggak pernah menyangka anaknya bisa berbuat seperti itu.

Malu, karena merasa anaknya memberi pengaruh buruk untuk anak-anak lain.

Kecewa. Marah. Sedih. Apalagi???

Silakan tambahkan sendiri, jika kita mau membayangkan sejenak, jika itu adalah anak kita!

Ada cara lain untuk menyampaikan keberatan kita.

Cara pertama, boleh share postingan tidak senonoh yang ada di WAG anak kita, tapi sensor nama si penyebar postingan.

Cara kedua, sampaikan langsung ke wali kelas dan orangtua murid yang bersangkutan. Ini lebih bijak. Biarkan pihak sekolah dan keluarga yang menyelesaikan.

Kita nggak pernah tahu, apa yang terjadi di dalam rumah tangga setiap orang. Kita nggak paham, apa yang melatarbelakangi seorang anak melakukan tindakan yang mungkin tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Kita tidak tahu, masalah dan perjuangan yang mungkin keluarga itu miliki.

Baca juga:

Tentang Inner Child, Masa Lalu yang Menghantui Masa Kini

Lagipula, bukankah membesarkan seorang anak, mendidik mereka menjadi anak yang baik, adalah tugas kita semua?

Lantas, apa tujuan kita ketika dengan mudah jari mengetik menuliskan hal-hal yang tidak menyenangkan?

Sebenarnya ini bukan lagi sekadar paham tata krama sih ya, ini lebih dari itu, belajar berempati terhadap orangtua lain.

Karena siapa tahu, suatu saat nanti, anak yang kita khilaf dalam menggunakan smartphonenya :).

Baca juga:

Kesehatan Mental Remaja yang Semakin Buruk Karena Social Media

10 Alasan Tertinggi Kenapa Orang Tua Melakukan Tindak Kekerasan

Share Article

author

fiaindriokusumo

Biasa dipanggil Fia, ibu dari dua anak ini sudah merasakan serunya berada di dunia media sejak tahun 2002. "Memiliki anak membuat saya menjadj pribadi yang jauh lebih baik, karena saya tahu bahwa sekarang ada dua mahluk mungil yang akan selalu menjiplak segala perilaku saya," demikian komentarnya mengenai serunya sebagai ibu.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan