Ditulis oleh: Ficky Yusrini
Ini sedikit pesan tentang pernikahan dari orang yang sedang belajar terus menerus tentang arti hidup dalam pernikahan.
Hari ini, saya menerima paket berupa kain brokat dari ipar di luar kota. Kain itu sedianya untuk seragaman keluarga. Sebentar lagi, keponakan yang tertua akan menikah. Anak muda yang memanggil saya dengan panggilan Bibi, kini akan membangun keluarga sendiri. Ketika saya menikah dengan Mamangnya dulu, ia masih di bangku SD. Begitulah, time flies. Hal yang sama juga akan terjadi pada anakku. Betapa cepatnya tahun berlalu, dari ia masih segumpal darah, hingga sekarang menginjak remaja. Tahu-tahu, ia akan menemukan pasangan hidup (please don’t grow up so fast :P)
Saya jadi teringat, teman saya yang menuliskan postingan bernada mellow di FB, saat anaknya menginjak usia 21 tahun. “Semoga kamu mendapatkan perempuan baik yang penyayang dan bisa mengurusmu.” Apakah demikian dunia anak laki-laki? Lepas dari hidup mamanya, lalu hidupnya akan ditentukan oleh perempuan lain pilihannya?
Detik-detik anak menuju usia 21 tahun rasanya bukanlah waktu yang lama. Sebagai orang tua, ungkapan ‘The days are long, but the years are short’ itu benar adanya. Ketika hari itu tiba, saat anak sudah cukup umur untuk memutuskan hidupnya sendiri dan cukup dewasa untuk menikah, saya harus menyiapkan mental untuk melepasnya. Ada beberapa hal yang akan saya sampaikan padanya nanti, yang saya rasakan tentang pernikahan, walaupun sampai sekarang saya juga masih struggling terus menerus dalam lembaga pernikahan.
Apa alasan seseorang menikah? Dulu, saya pikir, menikah adalah sebuah kewajaran sosial. Sebab itulah yang dilakukan orang tua kita. Dan orang-orang dewasa yang saya kenal. Saya tidak pernah terpikir untuk tidak menikah. Sampai suatu kali, saya jatuh cinta pada pria yang begitu keras menentang pernikahan. Tak lain ayahmu. Baginya, menikah adalah konstruksi sosial yang menghambat kebebasan individu dan seringkali tidak adil pada salah satu pihak. Pengukuhan cinta tak harus diformalkan dalam sebuah buku nikah. Pada akhirnya, kami menikah karena menyerah pada keluarga besar. Karena itulah jalan termudah dan ternyaman bagi hubungan kami. Namun, buku nikah itu tak mengubah apa pun yang sudah kami miliki sebelumnya. Menikah tak pernah menjadi tujuan kami. Kami dua orang yang sama-sama bisa hidup sendiri. Tapi kalau harus berpisah, rasanya tak sanggup. Sebab, saya tak bisa hidup tanpa cintanya, dan sebaliknya. Meski hidup terpisah pulau, tak mengapa. Asal hatinya terpaut pada saya (eciee…).
Jangan bayangkan pernikahan seperti film Disney, “And they live happily ever after…” Justru, penderitaan demi penderitaan baru akan dimulai. Menikah adalah awal dari sebuah petualangan yang painful. Karenanya, jangan pernah memulai hubungan dengan awal yang indah-indah terus. Kupaslah pasangan sampai kamu betul-betul tahu sisi gelapnya, kegilaannya, dan segala keburukannya. Lepaskan topengmu di hadapannya. Hanya dengan cara itu, kamu akan bisa melewati gelombang badai lima tahun pertama. Pernikahan adalah penyatuan dua manusia yang tak sempurna. Bahkan seorang soul mate dari surga memiliki ketidaksempurnaan.
Kamu harus tahu, terlahir sebagai perempuan itu sangat tidak enak. Terlebih hidup dalam masyarakat yang sangat patriarki. Ibumu adalah orang yang merasakan sendiri banyaknya ketimpangan dan ketidakadilan karena lahir sebagai perempuan. Beruntunglah, kamu terlahir sebagai lelaki. Satu pesanku, jadilah lelaki yang peka pada perasaan perempuan, mau berbagi tugas domestik, dan sigap mengurus rumah dan anak, walau istrimu nanti seorang ibu rumah tangga. Beri ia kesempatan untuk bertumbuh, menjadi pribadi yang lebih baik dan mau terus belajar.
Jangan sepelekan janji pernikahan. Bahkan, ketika bercerai semudah mengucap kata putus pada pacar. Ingatlah lagi, apa alasanmu menikah. Memang, ada beberapa situasi ketika pernikahan tidak layak untuk dipertahankan. Tetapi, periksa kembali betulkah itu keputusanmu atau keputusan egomu? Sudahkah kamu menjadi orang yang lebih sabar, dalam menghadapi pasangan? Sudahkah kamu menerima realitas ketidaksempurnaan pasanganmu? Dan ketika segala cara sudah kau lakukan, namun perpisahan itu memang mesti terjadi, janganlah membuatmu menjadi terpuruk dalam jurang kedukaan. Percayalah, di setiap kegelapan yang kau temui, akan membuatmu hidupmu menjadi lebih bercahaya.