Orangtua melakukan tindak kekerasan pada anak sudah pasti salah. Namun, sebelum sibuk menghakimi, coba kita lihat penyebab di balik ini semua.
Beberapa waktu lalu, ada yang men-DM saya di IG, memberikan link berita mengenai seorang ibu di Bandung yang membunuh bayi perempuannya berusia tiga bulan. Ada lagi beberapa bulan lalu, sebuah video menjadi viral karena menampilkan seorang ibu menyiksa anaknya karena si anak (disinyalir) susah makan. Coba deh googling, dengan keyword: Orangtua kandung siksa anak, maka akan keluar 134.000 hasil.
Mungkin, saya atau Anda pernah bertanya “Kok bisa sih orangtua kandung menyiksa anak bahkan hingga menghilangkan nyawa si anak?” Pertanyaan ini muncul karena kita nggak pernah membayangkan bahwa kita bisa melakukan hal tersebut pada anak kita. Jadi begitu ada orangtua lain yang tega melakukan hal tersebut, kita jadi heran, lantas menghakimi.
Kita lupa, every individual has a story. Selalu ada alasan yang mungkin bahkan si ibu atau bapak itu sendiri nggak sadar.
Menghakimi nggak akan bisa mengubah apa pun. Tapi mencoba memahami kenapa ada orangtua yang bertindak sejauh itu, mencari tahu alasannya, mungkin bisa membantu. Membantu menyadarkan mereka bahwa siapa tahu mereka membutuhkan bantuan profesional dan menghentikan tindak kekerasan berlanjut.
Baca juga:
Gunung Es Itu Bernama Kekerasan Terhadap Anak
Ketika seorang anak tumbuh besar di dalam lingkungan yang penuh kekerasan, ada dua kemungkinan:
Dia menyadari bahwa ini salah dan tidak menyenangkan, maka dia tidak akan membiarkan anak-anaknya kelak merasakan hal yang sama, atau
Dia mencontoh dan menggap bahwa inilah pola asuh yang benar. Bahwa memang seperti inilah anak-anak seharusnya dididik dan diasuh.
Jika point kedua yang terjadi, maka tindak kekerasan akan berulang, menurun ke anak-anaknya.
Ada orangtua yang tidak ingin disepelekan oleh anak, maka dia menciptakan hubungan antar orangtua dan anak yang penuh rasa takut. Mereka ingin memiliki kontrol penuh pada anak-anaknya. Konsep seperti ini bisa jadi kembali lagi masa lalu atau karena mereka sangat ingin menjadi orangtua yang terbaik, jadilah tanpa sadar mereka terlalu keras. Padahal, gaya pengasuhan seperti ini hanya akan menciptakan anak yang membenci orangtuanya kelak.
Ada orangtua yang memiliki ekspektasi ketinggian pada anak-anaknya. Anak harus disiplin. Anak harus sopan. Anak harus berprestasi. Dan biasanya semakin tinggi ekspektasi, maka akan semakin realistis harapannya. Inilah yang memicu tindak kekerasan. Ketika harapan yang tidak realistis tak terpenuhi, orangtua menjadi frustasi dan berakhir dengan perilaku abusive terhadap anak.
Yes, nggak hanya anak remaja yang rentan dengan peer pressure. Orangtua pun mengalami hal yang sama. Ketika dia melihat anak-anak lain di lingkungannya terlihat manis, santun, bisa diatur, behave, sedangkan anaknya kok nggak seperti itu, maka ego sebagai orangtua yang ingin dianggap berhasil mendidik anak pun muncul. So they turn abusive so that their kids can listen to them. Dan semua demi reputasi si orangtua :).
Anak yang lahir dari orangtua yang memiliki ketergantungan terhadap alkohol atau obat-obatan sudah otomatis lahir di lingkungan yang penuh kekerasan. Jika mereka tidak mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri, bagaimana dia bisa bertanggung jawab terhadap hidup seorang anak?
Paham banget kan, menjadi orangtua itu melelahkan luar biasa. Maka, ketika orangtua baru sama sekali tidak memiliki support system yang baik dari anggota keluarga besar lainnya, atau tidak memperoleh bantuan sama sekali, hanya si ibu atau hanya ayah dan ibu yang mengurus, kans terjadi tindak kekerasan sangat besar. Kurang tidur, kurang waktu untuk diri sendiri, kurang teman berbagi cerita, kurang asupan makan, the frustration level increases and they lose their temper on their kids.
Ketika seseorang memiliki masalah kejiwaan sekaligus berperan sebagai orangtua, maka kesulitannya akan berlipat ganda. Dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, menangani masalah kejiwaannya dan mengurus anak bisa menciptakan perilaku abusive terhadap anak.
Secara normal saja, anak-anak itu butuh perhatian kita secara terus menerus. Sekarang, bayangkan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, yang artinya si anak butuh perhatian, butuh waktu lebih dari anak normal pada umumnya. Lelah sebagai orangtua pun juga double :). Tak heran, saat orangtua merasa lelah, sedih, khawatir, kadang putus asa, mereka bisa jadi hilang kesabaran dan menjadi abusive.
Memiliki anak sama artinya membutuhkan biaya terus menerus, dan kadang biayanya tidak sedikit. Ketika orangtua memiliki keterbatasan finansial, tak mampu memberikan yang terbaik untuk anak, bahkan kadang kesulitan memberikan kebutuhan dasar si kecil, maka rasa tidak berdaya berubah menjadi amarah.
Rasa kecewa terhadap pasangan memiliki kans yang besar untuk membentuk pola asuh seperti apa yang akan dilakukan pada anak. Ketika kita membenci pasangan, tak jarang kita ingin menyakiti dia, dan ini bisa dilakukan melalui anak.
Baca juga:
Maka, ketika kita memahami apa penyebab seseorang melakukan tindak kekerasan, bantu mereka untuk menyadari masalah yang mereka punya. We can help stop the cycle. Tapi tidak dengan menghakimi.