Ditulis oleh: Rachel Kaloh
Ketika anak tantrum kita anggap lucu untuk disajikan di social media, padahal Psikolog Schrag Hershberg dan Daniel T. Willingham menjelaskan bahwa dalam otak anak usia 2 tahun, peristiwa -yang kita anggap lucu dan menghibur- itu adalah TRAGIS.
Jaman sekarang, rasanya nggak mungkin kalau nggak posting foto maupun video anak. Boleh aja, itu hak kita, tapi...lagi-lagi, semua ada aturannya. Saya mungkin nggak akan bisa sekonsisten Nadya Hutagalung dan Anggun yang benar-benar tidak mempublikasikan foto anaknya sampai usianya cukup untuk tampil di media sosial. Tapi, kan... saat anak mereka masih di usia bayi dan balita, Instagram belum se-booming sekarang. However, saya tetap kagum sama komitmen mereka.
Sebetulnya, punya anak atau tidak, kita perlu paham kebijakan dalam bersosial media. Yuk, pahami lagi aturan dan risikonya!
Memang, sih, in every mothers’ real life, there’s no such thing as rumah selalu rapi, anak yang pintar ngebantuin ibunya, duduk manis, dengar-dengaran, selalu makan sampai habis, dan kesempurnaan lainnya. Alhasil, ibu-ibu yang feed Instagram-nya demikian sering dianggap pencitraan, nggak real. Kalau memang dia memilih untuk posting yang baik-baik aja, apa yang salah? Saya sendiri juga nggak mau posting foto saat lagi ngomel sama anak. Lalu, kenapa kita yakin betul anak kita nggak akan sakit hati kalau tahu dia direkam dan jadi konsumsi publik saat lagi tantrum?
Video anak nangis seringkali dianggap hiburan oleh banyak orang. “Ya ampun, gemesin banget sih lihat dia nangis!”, “More, please! Hiburan banget ini!”, komentar ini sering, lho, berkeliaran di Instagram para mamah-mamah beken. And they don’t even feel sorry! Coba kalau dibalik, sedih nggak, kira-kira jadi si anak kalau saja dia ngerti dirinya lagi jadi hiburan.
Psikolog Rebecca Schrag Hershberg dan Daniel T. Willingham dalam artikel di Parenting.nytimes.com, menjelaskan bahwa dalam otak anak usia 2 tahun, peristiwa -yang kita anggap lucu dan menghibur- itu adalah TRAGIS. Anak tantrum karena belum mampu mengerti keadaan yang terjadi, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis. Makin sedih, nggak, sih, saat tahu kalau akun Instagram yang isinya keseharian si anak, mulai dari happy sampai tantrum, dimanage sendiri oleh ibunya yang ENGGAN upload foto asli dirinya sendiri. Ini realita, lho!
Ketika membubuhi hashtag dalam postingan di Instagram, pikirkan risikonya. Gimana kalau nanti foto ini dilihat oleh orang banyak, akankah membahayakan anak? Kalau memang yakin aman, ya sudah, go with it! Atau… ciptakan saja hashtag sendiri, terutama kalau tujuannya adalah kepentingan pribadi, alias buat kompilasi. Jauhi penggunaan hashtag yang sangat umum kalau merasa konten kita berisiko terhadap anak.
Namanya juga candid, wajar kalau banyak orang jadi ‘background’ alias seliweran di sekitar anak. Tapi, nggak ada salahnya, kan, untuk mengedit foto dengan tujuan menghormati mereka -yang belum tentu mau- terlihat. Kalau kebetulan ada anak lain selain anak sendiri di dalam konten yang mau di-upload, pastikan orangtuanya juga sudah setuju. Sekarang banyak, kok, tools yang mendukung kita untuk “membersihkan” background. Kalau niat banget edit-edit foto si kecil, masa hal simpel ini nggak bisa kita lakukan, sih? Bayangin, deh, kalau foto kita saat lagi nggak siap tiba-tiba diupload sama teman sendiri, KZL kan?
Seorang Raisa yang sampai sekarang masih konsisten untuk tidak mempublikasikan wajah anaknya pun jadi harus kalah sama ratusan fanmade account yang gercep banget posting foto Zalina. Not just them, bahkan teman sesama artis yang bertamu saat Raisa baru melahirkan pun ikutan upload foto si kecil Zalina (semoga saja dia sudah minta ijin). Meskipun ini adalah risiko Raisa sebagai seorang public figure, anaknya kan tetap punya privacy.
Selain wajah, ada bagian-bagian tubuh yang HARUS ditutupi. Saat posting foto bayi lagi dijemur, lagi berenang, lagi dipijat, lagi mau review produk di kulit bayi, pun, jangan lupa kalau bagian tubuhnya bukan konsumsi publik, kecuali kalau anak lagi jadi bintang iklan. Kita sebagai orangtua perlu selalu aware akan hal ini. Jangan pernah menganggap, “Ah, cuma anak-anak!” Kembali lagi, they have privacy.
Speaking of privacy, bukan hanya hak anak sendiri yang harus kita hormati. Saat di sekolah, tempat umum, playground, hindari memperlihatkan hal detail, seperti alamat sekolah, letak kelas, bahkan nama lengkap anak (dan teman-temannya). Ingat, privacy mereka bisa terancam hanya karena kita yang teledor, demi konten sendiri!