Bukan membagikan foto pelaku yang perlu kita lakukan. Ada hal yang jauh lebih penting untuk direnungkan dan mengambil pelajaran dari kasus #JusticeforAudrey.
Kasus siswa SMP di Pontianak yang menjadi korban bullying oleh 12 anak SMA menjadi viral. Tagar segera beredar dan banyak dukungan diberikan. Masyarakat gemas, marah, sedih dan bertanya-tanya:
Baca juga: Viral #JusticeforAudrey, Siswi SMP di Pontianak Dikeroyok 12 Anak SMA
Kok bisa? Kok tega? Apa yang ada di pikiran para pelaku?
Akun instagram beserta foto pelaku pun segera tersebar. Banyak yang menghujat sudah pasti. Banyak juga yang mendoakan pelaku mendapat hukuman setimpal. Pertanyaannya, setelah itu lalu apa? Satu masalah ditangani, lantas apakah akan memutus rantai kekerasan dengan menyebar foto pelaku? Kita semua tahu jawabannya.
Ya anggap itu sebagai sanksi sosial? Bisa. Tapi balik lagi pertanyaan saya? Selesaikah masalahnya di situ?
Boleh ya tekan sejenak amarah kita. Boleh ya turunkan sedikiiit saja emosi kita. Karena di luar sanksi sosial yang mungkin ingin kita lakukan, ada tanggung jawab lebih besar yang bisa kita lakukan, agar ke depannya tak bertambah banyak anak-anak berperilaku bak “monster” yang tak kenal empati dan belas kasihan.
Saya bertanya ke mbak Vera Itabiliana selaku Psikolog Anak dan Remaja, mengenai apa yang dibutuhkan oleh korban dan pelaku. Dan apa yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, orangtua hingga kita sebagai masyarakat?
Baik korban maupun pelaku perlu direhabilitasi emosi serta perilakunya.
Korban butuh dilindungi, dia butuh melihat bahwa pelaku mendapat konsekuensi dan butuh kembali lagi pada rutinitas seperti semula. Dan ini perlu dibantu oleh pihak keluarga tentunya serta pihal sekolah.
Pelaku perlu diberi konsekuensi baik dari sekolah maupun orangtua serta diajarkan bagaimana problem solving, serta regulasi emosi agar ke depannya tumbuh menjadi orang yang lebih baik.
Di satu sisi sebenarnya pelaku tetap punya hak untuk melanjutkan pendidikan jadi memang sebaiknya tidak dikeluarkan dari sekolah. Menjadi tugas sekolah untuk memberikan perhatian khusus kepada pelaku. It’s a part of the consequences they have to bear. Dan bisa jadi alternatif agar para pelaku jangan disatukan di sekolah yang sama lagi ke depannya supaya mereka bisa tumbuh menjadi individu baru tanpa ada pengaruh dari teman-teman lamanya.
Konsekuensi yang bisa menumbuhkan empati. Ada bagian di mana mereka harus minta maaf secara langsung kepada korban. Mereka juga perlu dilibatkan untuk membantu korban kembali ke aktivitas semula. Mereka diminta melakukan bakti sosial yang melibatkan anak/remaja seusia mereka yang juga menjadi korban bully.
Well, coba kita lihat berita-berita, begitu banyak contoh bagaimana menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan.
Mulai dari diri sendiri untuk meregulasi emosi serta memiliki problem solving yang lebih baik/bijak karena anak/remaja selalu meniru apa yang orang dewasa lakukan.
Tidak usah share foto atau video. Dan untuk media, sebaiknya jangan bercerita terlalu detail mengenai apa yang terjadi pada korban.
7. Dan apa yang sebaiknya jangan dilakukan oleh orangtua korban atau pelaku?
Korban: Jangan disalahkan atau dipojokkan, tidak perlu mengungkit terus. Bangkitkan semangatnya bahwa masih banyak hal di dirinya yang positif. Bad things happen but they dont define who you are.
Pelaku: Orangtua evaluasi pola asuh selama ini, bimbing/dampingi anak untuk jalani konsekuensinya bukan menghindari, apalagi membela mati-matian. Perjalanan masih panjang, sehingga anak masih bisa berubah jadi lebih baik.
Well, mungkin susah bagi kita melakukannya tanpa mengujat atau menghakimi. Karena sebagian besar dari kita adalah orangtua juga. Namun, kalau kita ingin ikut andil dalam menciptakan generasi muda yang lebih punya empati, untuk anak-anak kita bisa hidup lebih tenang ke depannya, mari kita mulai dari diri sendiri untuk belajar mendidik anak-anak tak hanya anak kita sendiri tapi juga anak-anak di luar sana yang butuh bantuan kita.
-
Kita tidak ingin anak kita menjadi korban.
Kita juga pasti tidak ingin anak kita menjadi pelaku.
Maka ketika kita membela satu pihak dan menghujat pihak lain mati-matian, bisa jadi kita hanya menciptakan lingkaran baru kekerasan yang tak berujung. Pastikan bahwa apa yang kita lakukan saat ini sebagai orangtua dan bagian dari masyarakat, tidak memasukkan unsur menyakiti, menghina, merendahkan, menghujat, salah satu pihak.
Pertanyaannya: Maukah kita melakukannya?