Jangan sampai atas nama rasa sayang kita malah jadi kebablasan melakukan semuanya untuk anak hingga dia lupa apa artinya mandiri dan mengubah status kita dari ibu menjadi seperti asisten.
Mau makan, nasi dan lauknya diambilin. Tinggal buka mulut, hap, nasi masuk. Anak nggak usah usaha.
Ketika musim ulangan tiba, yang ribet mencari tahu kisi-kisi ulangan dan jadwal ulangan malah kita. Dicatat, dikasih ke anak. Kalau perlu, halaman di buku cetak sekalian kita berikan tanda.
Duh Dew ….. mana ana ada sih ibu yang begitu? BANYAK!
Seorang teman saya mengaku kalau anaknya belajar, dialah yang membacakan buku paketnya. Kalau ada tugas sekolah, ibunya yang membacakan soal, anak yang mengerjakan jawabannya.
Kalau sudah begini, kembali lagi pertanyaan saya: Kita ini ibunya atau asistennya?
Baca juga:
Narcissistic Parenting dan Dampak Buruknya Terhadap Anak Kita
Beda ibu dan asisten
Harus diingat dulu kalau asisten umumnya bersifat melayani. Asisten hadir untuk memudahkan hidup seseorang, nurut sama majikannya dan biasanya, sih, digaji. Sementara sebagai ibu, kita itu orangtua dari anak kita, lho! Bukan asisten dan si anak juga bukan atasan kita! Jadi ya jangan bersikap selalu melayani. Bagaimana anak bisa mandiri selama kita menempatkan diri sebagai asistennya, bukan ibunya.
Yes, ketika mereka masih bayi atau saat sakit, mereka mempunyai keterbatasan, maka sudah tugas kita untuk membantunya. Tapi ya jangan jadi keterusan. Ketika kemudian ia bertumbuh, semakin besar, mau sampai kapan dimandikan, disuapi, tas dibawain, sepatu dipakaikan?
Ketika Tuhan menganugerahkan kita anak-anak, saya rasa tugas kita adalah menyiapkan anak-anak untuk menjadi mandiri dan mampu menjadi individu yang bisa mengandalkan dirinya sendiri. Syukur-syukur bisa berguna bagi orang lain.
Biar anak mandiri
Berhenti jadi ‘asistennya’. Percaya, deh, mereka itu sebenarnya mampu, kok, cuma seringnya ibunya aja yang nggak tega dan nggak ikhlas lihat anaknya bisa melakukan semua sendiri:
Stop berkata, “Please baby, don’t grow up too fast.”
Saya pernah terucap seperti itu, tapi lalu tertegun. Berarti secara mental dan fisik nggak tumbuh, dong. Ingat, ucapan adalah doa. Dan kita tahu, ya, doa ibu itu makbul. Secara psikologis anak jadi ngerasa bayi melulu lalu malas tumbuh besar.
Kasih anak tugas yang memang bisa ia lakukan sesuai dengan usia dan kemampuannya
Saat ini si sulung sudah saya ajarkan untuk masak nasi sendiri menggunakan rice cooker. Ketika dia tanya, “Kenapa aku harus masak nasi?” “Karena mama dan siapa pun yang memasakkan nasi untuk kamu selama ini, nggak akan bisa selalu mendampingi kamu untuk selama-lamanya.” Ini berlaku juga untuk membereskan kamar, mainan, cuci sepatu sekolah sendiri, masak di kompor, dan lain-lain.
Biarkan anak menyelesaikan tugasnya sendiri
Iya, kadang-kadang kita gemas kalau tugas mereka nggak selesai-selesai lalu langsung ambil alih. Di mana-mana, ya, semuanya butuh proses. Nggak bisa instan.
Biarkan anak menikmati saat-saat ia sendiri tanpa kita orangtuanya
Saat anak ikut study tour, atau camping bersama teman-teman sekolahnya, kayaknya kita nggak perlu ngintilin terus dan sewa kamar di dekat anak camping. Percayakan saja pada gurunya. Atau ketika si anak menginap di rumah salah satu sepupu, kita nggak perlu telepon setiap 30 menit sekali untuk mengecek keberadaannya. Ini mungkin saatnya kita belajar untuk percaya pada orang lain juga, termasuk si kecil.
Sesekali biarkan ia membuat keputusan sendiri dan mengenali risikonya
Ini akan bisa mengajarkan anak berpikir, ketika ia melakukan sesuatu, apakah itu baik atau tidak, apakah akan ada konsekuensi yang mengikuti perbuatannya?
Baca juga:
Mengajarkan Anak Usia 3-12 Tahun Belajar Memecahkan Masalah Sendiri
Mungkin mau menambahkan, bagaimana caranya supaya anak mandiri secara mental dan fisik? Ditunggu di kolom komen, ya.