Sorry, we couldn't find any article matching ''
5 Tanda Anak Kita Terlalu Kompetitif
Anak-anak itu kan tidak terlahir dengan jiwa kompetitif, maka bagaimana mengenali tanda-tanda anak yang tak hanya kompetitif, namun terlalu kompetitif?
Menurut mbak Vera Itabiliana, Psikolog Anak dan Remaja, anak itu tidak terlahir kompetitif. Dorongan berkompetisi adalah hal yang dipelajari anak dari lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya, anak melakukan segala sesuatu atas dasar kesenangan. Jika akhirnya anak tumbuh dengan jiwa kompetitif, maka itu adalah buah yang diperoleh dari apa yang ditanamkan oleh orang-orang di sekitarnya (hmmmmm).
Lalu, tanpa kompetisi, bagaimana dong memacu anak-anak untuk berprestasi? Menurut mbak Vera anak dapat berkembang baik bakat maupun rasa percaya dirinya ya lewat pengalaman hidup sehari-hari. Tumbuhkan keinginan anak untuk berkompetisi dengan dirinya sendiri. Agar rasa percaya dirinya anak bersumber dari diri sendiri, bukan dari pencapaian mengalahkan orang lain.
Nah, bagaimana melihat anak-anak yang sudah tertanam jiwa kompetisi kemudian bersikap terlalu kompetitif? Ini tanda-tandanya menurut Real Simple:
1. Anak kerap membual
Anak sering membanggakan atau membual tentang kemampuan yang dimilikinya. Maka sebagai orangtua, kita perlu mengingatkan si kecil bahwa banyak hal positif yang dia miliki tanpa harus menjadi juara dalam sebuah pertandingan. Kita pasti nggak mau kan kalau anak sampai dikucilkan oleh teman-temannya karena hobi membualnya? Kita juga bisa memuji usaha atau proses yang dia jalani, bukan hasil akhir yang dia peroleh.
2. Berpikir negatif ketika kalah
Saat anak merasa frustasi karena kekalahan dan menganggap dirinya buruk karena kalah. Maka, ajak dia fokus pada kelebihan yang dia miliki. Daripada anak terlalu fokus pada kegiatan kompetisi, coba ubah fokusnya dari kompetisi ke skill building dan kerja sama dengan memilih kegiatan yang mendorong anak melakukan dua hal tersebut.
Baca juga:
3. Drama king atau queen
Pada anak yang lebih muda, bisa dalam bentuk tantrum, menangis atau ngambek. Sedangkan pada usia anak yang lebih tua, bisa jadi dia mencari-cari alasan atau menyalahkan orang lain atau faktor lain atas kekalahan yang dia alami. Your child needs to learn how to lose. Ajak dia bicara tentang kekalahan yang bermartabat. Ajarkan dia juga untuk belajar mengontrol emosinya, jangan cepat menyerah untuk mengiyakan yang dia mau.
4. Menghalalkan segala cara untuk menang
Bahkan jika itu berarti dia berbuat curang atau mencontek hingga menyalahi aturan main, untuk hal sesederhana bermain board game, jangan biarkan anak terbiasa berbuat curang. If this turns into a habit, it can easily snowball into larger issue. Maka, ketika anak kalah dalam sebuah kompetisi, tekankan bahwa yang kita hargai adalah usahanya, bukan hasil akhirnya.
5. Anak tidak respek terhadap kompetitornya
Rasa ingin terlihat lebih baik dari kompetitor membuat anak kita cenderung menjelekkan lawannya, bahkan menghinanya bodoh, tidak hebat atau tidak mampu bermain. Maka tugas kita sebagai orangtua untuk mengajarkan si kecil untuk memiliki respek terhadap orang lain, entah itu yang lebih hebat darinya atau yang tidak. Tunjukkan kelebihan si kecil namun juga perlihatkan kepadanya bahwa anak-anak lain juga memiliki kelebihan serta kehebatannya masing-masing.
Baca juga:
Share Article
COMMENTS