Jangan hanya bisa meminta anak menjaga nama baik kita, orangtuanya. Jika pertanyaan dibalik, sudahkah kita menjaga nama baik anak-anak kita? Apa jawabannya?
Beberapa waktu terakhir ini, publik dikejutkan oleh dua kejadian:
Pertama, perpisahan antara Gading Marten dan Gisella Anastasia.
Kedua, salah satu influencer perempuan yang tiba-tiba profil picture di IG-nya menampilkan foto dia dengan tulisan tidak pantas di dahinya, plus tulisan berlatar belakang hitam yang menyampaikan penyesalannya karena telah melakukan dosa besar, semakin sedih ketika dua hal itu direpost oleh suaminya sendiri.
Saya tidak senang mendengar kabar perceraian antara Gading dengan Gisel tentunya. Namun saya salut dengan kemampuan mereka menjaga emosi tanpa menjelek-jelekkan satu sama lain, dengan alasan: Tidak ingin Gempi, satu-satunya putri mereka, kelak membaca berita tidak baik tentang ayah dan ibunya. Mereka paham bahwa jejak digital tidak akan pernah bisa hilang.
Saya sedih, melihat bagaimana seorang suami sekaligus ayah dengan gagahnya merepost ulang sebuah instastory buruk tentang istrinya yang notabene juga seorang ibu dari anaknya. Sedih, karena meskipun kemudian instastory itu dihapus, sudah terlalu banyak bukti yang tersebar di dunia maya. Bagaimana perasaan si kecil, ketika kelak dia melihat bahwa ibunya dipermalukan seperti itu?
Dua kasus, sama – sama kasus rumah tangga, namun dengan penanganan yang berbeda.
Kita, sebagai orangtua, seriiiiiiiiiing banget meminta anak-anak kita bersikap dengan baik dan selalu ingat untuk menjaga nama baik keluarga, terutama orangtua. Saya pun juga dituntut hal yang sama oleh mama saya, bahkan hingga detik ini usia saya mau menjelang 40 :).
Pertanyaannya, kalau kita meminta dan berharap anak-anak kita menjaga nama baik kita sebagai orangtua mereka, apakah kita sudah melakukan hal yang sama untuk mereka? Menjaga nama baik anak-anak kita melalui tingkah laku, melalui tutur kata, melalui rekam jejak kita di ranah social media?
Orangtua dan anak-anak memiliki hak yang sama, kan? Dan sebagai orangtua, harusnya sih, kemampuan kita berpikir jauh lebih baik daripada anak-anak kita, kan? Jadi sudah sepatutnya kita berpikir ulang dan mampu menjadi bijaksana sebelum melakukan sesuatu. Iya, paham, usia kOnon kabarnya nggak menentukan tingkat kedewasaan seseorang.
Contohnya, seorang perempuan yang saya kenal, sudah memiliki dua anak, kemudian tertangkap menggunakan narkoba. Kemudian nggak berapa lama, ketawan kepergok selingkuh dengan suami orang. Usianya sudah di atas 35 tahun. Anak-anaknya sudah memasuki usia remaja. Tapi kemampuannya bertanggung jawab terhadap hidupnya dan menjaga nama baik anak-anaknya, ya nggak ada, menurut saya.
Kita memang sah-sah saja melakukan apa pun yang membuat kita senang, sayangnya, ketika status kita sudah menjadi orangtua, kita memiliki tanggung jawab untuk melindungi emosi anak-anak kita.
Jadi, mari kita belajar untuk menjaga nama baik anak-anak kita mulai dari sekarang. Tidak harus dengan cara yang sulit kok, cukup dengan mencoba melakukan beberapa hal berikut ini:
1. Sebelum melakukan sesuatu yang menurut kita enak, nyaman, cool atau membuat kita happy, ajukan pertanyaan ini ke diri kita sendiri: Apakah anak-anak saya akan bangga atau sebaliknya, malah malu ketika mereka tahu saya melakukan hal ini?
2. Ketika kita akan memposting sesuatu di social media, entah itu foto pribadi kita atau sesederhana menampilkan foto anak-anak yang menurut kita lucu nan menggemaskan, coba tanyakan ke diri sendiri: Apakah anak-anak saya akan tersinggung kalau saya menampilkan tentang hal ini di social media?
3. Atau ketika kita ingin menuliskan curhatan kita saat kesal dengan pasangan, atau ‘bertengkar’ di social media, apakah ini yang kita mau ditemukan oleh anak-anak kita kelak mengenai ayah dan ibunya?
4. Children see, children do, kita paham kalimat ini kan? Coba tanyakan lagi ke diri kita sendiri, kalau seandainya anak-anak saya melakukan apa yang saya lakukan ini, apakah saya akan marah, malu atau kecewa terhadap mereka? Jika jawabannya iya, maka jangan lakukan.
Mungkin kita berpikir, nggak mungkin anak-anak tahu. Nggak mungkin anak-anak dengar. Well, segala sesuatu itu mungkin saja terjadi, dear. Daripada kita menyesal di kemudian hari, mending kita berjaga-jaga dari sekarang, kan?