Saat akhirnya berhenti menyusui, ada beragam perasaan yang saya alami. Salah satunya adalah lega.
Ketika perdana menjadi ibu dan mengalami apa yang namanya menyusui, saya berhasil menyusui hingga si kakak berusia 1 tahun, walaupun di awal-awal sempat dicampur oleh sufor. Ingat banget, tahun 2006, campaign mengenai ASI ekslusif kayaknya belum heboh, karena rumah sakit tempat saya melahirkan masih memberikan paket sufor ketika kami pulang ke rumah.
Begitu punya anak kedua, di tahun 2008, campaign pentingnya ASI hingga dua tahun sudah bergema, no wonder saat itu kamar ibu dan anak sudah digabung dan pemberian ASI wajib hukumnya. Saya berhasil menyusui anak kedua hingga usia 1,5 tahun kalau nggak salah, itu pun sempat tandem memberikan ASIP untuk keponakan saya yang masuk ICU karena demam berdarah.
Ketika akhirnya momen menyusui berhenti, ada banyak perasaan yang berkelebat di diri saya…..
1. Lega
Tolong jangan hakimi saya (peaceeee). Kalau saya merasa lega, bukan karena saya lega bisa melepaskan tanggung jawab saya untuk memberikan anak-anak hak mereka yaitu mendapat gizi yang maksimal. Namun, sebagai ibu bekerja, berkejaran dengan waktu untuk mencukupi stok ASIP itu lumayan melelahkan dan mengkhawatirkan.
Lega karena saya nggak perlu deg-degan dan khawatir apakah stok ASIP akan mencukupi hingga keesokan hari saya kembali berangkat ke kantor. Lega karena saya ngak perlu memiliki perasaan nggak enak ketika harus izin memerah ASIP ketika sedang di tempat klien.
2. Khawatir
Ada rasa lega tapi nggak memungkiri juga kalau saya dilanda perasaan khawatir. Khawatir apakah setelah nggak ada aktivitas menyusui kemudian kualitas kedekatan saya dengan anak-anak akan berkurang. Ada perasaan khawatir bahwa kemudian mereka nggak lagi membutuhkan saya. Ketika masih menyusui, kan masih bisa jumawa, kalau satu hal yang hanya bisa saya yang melakukan adalah menyusui. Ayahnya nggak bisa, baby sitternya nggak bisa, eyang, tante, budenya juga nggak bisa. Cuma mama nih yang bisa, hehehe. Begitu kegiatan menyusui itu berhenti, langsung takut kalau posisi saya akan tergantikan (lebay…).
3. Kangen
Nah, perasaan kangen itu sempat hadir nih beberapa lama setelah berhenti menyusui. Memang nggak ada yang bisa nandingin kegiatan bonding di saat ibu menyusui anaknya, ya! Kayak kangen gitu lho, meluk-meluk si kecil, menatap matanya dan melihat betapa dia menikmati menyusu langsung ke saya.
4. Tapi saya nggak merasa sedih
Entah kenapa saya nggak merasakan sedih saat berhenti menyusui. Karena di pikiran saya adalah, saya sudah mencoba memberikan yang terbaik yang saya bisa, semampu saya. Kalau toch kemudian proses menyusui harus berhenti di usia anak satu tahun, satu setengah tahun, 9 bulan, 2 tahun, ya sudah, kan bukan karena saya nggak berusaha. Gitu sih. Kalau kemudian ada yang merasa sedih? Ya nggak masalah juga. Kan setiap orang punya perasaan yang berbeda-beda, nggak bisa dipukul rata. Yang penting kalau buat saya, jangan lalu dibawa stress, karena ini akan pengaruh banget ke kondisi kita sebagai ibu.
Jadi, mari kita tetap jaga rasa bahagia kita sebagai orangtua.