Ditulis oleh: Febria Silaen
Sebab, emansipasi wanita masa kini berarti menawarkan kesempatan, bukan mendikte pilihan.
Peringatan Hari Kartini memang dilakukan untuk mengenang jasa ibu R.A Kartini yang telah berjuang pada masanya untuk memperjuangkan emansipasi wanita kala itu. Sebab pada akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Seperti mengenyam pendidikan yang tinggi, bahkan belum diijinkan menentukan jodoh atau suami sendiri. Kala itu wanita belum punya kebebasan menentukan pilihan atau bahkan tidak punya pilihan sama sekali sebagai wanita dan diperlakukan beda dengan pria.
Tapi itu dahulu. Kini, pekerja perempuan di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahun. Bahkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pekerja perempuan meningkat sebesar 2,33 persen menjadi 55,04 persen dari sebelumnya yaitu, 52,71 persen pada Februari 2016.
Dan menurut riset dari Grant Thornton tahun 2017, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai peningkatan terbaik dalam hal jumlah perempuan yang menduduki posisi senior di perusahaan dengan peningkatan dari 24 persen di tahun 2016 menjadi 28 persen di tahun 2017. Data tersebut menjadi bukti nyata perjuangan R. A Kartini telah membuahkan hasil. Tentu kita boleh bergembira atas pencapaian ini.
Tapi tunggu dulu, apa yang dimaksud dengan emansipasi selalu berkaitan dengan kebebasan wanita memperoleh kesempatan yang sama dengan pria di bidang pendidikan dan pekerjaan?
Mengutip kata Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia. “Emansipasi bukanlah mendorong perempuan untuk berkarier tingi-tinggi. Juga bukan mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang biasa didominasi laki-laki. Emansipasi adalah perjuangan untuk menempatkan perempuan sebagai manusia, sebagaimana manusianya laki-laki. Tidak lebih, dan tidak kurang.”
Dan menariknya, arti kata emansipasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya pembebasan dari perbudakan. Lebih luas makna emansipasi adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju.
Jadi sepertinya Kartini buat Moms Zaman Now tidak lagi selalu memperjuangkan kesempatan dan hak yang sama dengan kaum lelaki. Tapi Kartini sekarang berjuang untuk bebas menjadi ibu dengan pilihannya. Kartini masa kini berjuang agar bisa lepas dari batasan untuk berkembang dan maju.
Apalagi akhir-akhir ini ternyata kaum perempuan lebih galak dengan kaum perempuan sendiri. Ini pasti dialami oleh para ibu yang langganan naik commuter line. Berada di gerbong kereta khusus perempuan itu dianggap “mengerikan”.
Ironis, ibu zaman now itu masih merasakan perbudakan berupa tekanan atau pandangan untuk menjadi ibu sempurna yang (sayangnya) dilakukan oleh sesama ibu. Duh, kok sepertinya lebih berat daripada berkompetisi dengan para pria di kantor ya. Tapi ini kenyataannya.
Nggak percaya? Cari tahu di media sosial dan berita, ada banyak perempuan malah saling mencibir dan melakukan perudungan ke sesama perempuan.
Mulai dari ibu hamil hingga melahirkan. Bukankah setiap ibu punya kebebasan untuk memilih proses persalinan yang akan dilaluinya. Normal atau melalui operasi caesar tentu ibu yang bisa menentukan. Tapi yang dialami para calon ibu, mereka sudah mendapatkan intimidasi berwujud komentar para ibu lain. Seperti celutukan, kalau belum melahirkan bayi dengan persalinan normal, belum menjadi ibu yang sempurna. Duh, miris mendengarnya. Padahal tentu ada alasan ibu melahirkan melalui proses caesar.
Atau soal pemberian Air Susu Ibu (ASI). Bagi ibu yang sudah bisa memberikan ASI setelah melahirkan adalah hal yang menggembirakan. Namun tak jarang, ada Ibu yang tidak kunjung keluar ASI atau keluar tapi hanya sedikit dan tidak lancar. Ibu yang tidak bisa memberikan ASI Eksklusif pun akan mendapat cemooh.
Belum lagi pro dan kontra ibu bekerja dan ibu rumah tangga.
Atau ketika orang terdekat saya memutuskan untuk hanya memiliki anak satu saja karena alasan ingin kembali bekerja. Ramai-ramai sesama wanita akan menuding ini itu.
Dan ironisnya, peran ibu rumah tangga dianggap tidak mewakili emansipasi wanita karena mereka tidak bekerja. Padahal ibu bekerja adalah CEO di rumah. Artinya mereka pun bekerja, mulai dari beberes, mengasuh anak, menjadi guru di rumah, dan menyiapkan kebutuhan anggota keluarga.
Kondisi yang disebutkan di atas tentu dekat dengan keseharian kita sebagai ibu. Dan ini menyadarkan saya kalau sampai saat ini para ibu masih belum bebas untuk menentukan pilihannya.
Kita masih dalam kondisi perbudakan atas stigma dan lingkungan. Padahal kaum wanita sebenarnya diberikan kesempatan untuk memilih.
Tidak ada pilihan yang salah, tidak ada wanita yang merasa dikucilkan atas pilihannya. Sebab, emansipasi wanita menawarkan kesempatan, bukan mendikte pilihan.
Jadi mari kita bangkit untuk bisa saling memberikan ruang dan kebebasan untuk sesama perempuan memilih. Dan belajar menghargai dan mendukung setiap pilihan yang diambil oleh para perempuan.