banner-detik
INFANT

Apa yang Bisa Dilakukan Bayi Mungil pada Sebuah Pernikahan?

author

?author?18 Feb 2018

Apa yang Bisa Dilakukan Bayi Mungil pada Sebuah Pernikahan?

Pernikahan tak hanya indah, tapi juga penuh tantangan. Seperti cerita yang dihadirkan bayi dalam sebuah pernikahan.

Saat saya baru menikah dan lagi bulan madu *cieeeh. Saya dan pasangan memutuskan untuk langsung mempunyai anak. Alasan mendasar, usia pak suami tak lagi muda, hahaha. Supaya masih bisa mengejar usia produktif. Kalau dari pihak saya sendiri, merasa siap-siap saja sih, punya baby. Karena pada dasarnya dari dulu suka anak kecil.

Apa yang Bisa Dilakukan Bayi Mungil pada Sebuah Pernikahan? - Mommies DailyImage: Aditya Romansa on Unsplash

Beruntung doa kami didengar dan dikabulkan Tuhan dengan baik. Kosong dua bulan, bayi mungil yang kami beri nama Jordy lahir dengan selamat, tanpa kurang satu apapun. Kecuali saya yang lelah dibuatnya, karena harus diinduksi dulu, eh ujung-ujungnya caesar :D.

Kini hampir 5 tahun menikah, saya teringat masa-masa awal dimana kami kedatangan “tamu” baru, bayi mungil merah, dan 100% masih tergantung sama orangtua dan support system-nya. Lumayan terkejut, karena ternyata banyak sekali yang bisa diperbuat seorang bayi dalam pernikahan orangtuanya. Minus plus-nya disyukuri. Mau tahu apa saja?

1. Bertukar tanggung jawab dan peran

Ada masanya suami saya harus turun ke dapur buat masak atau menghangatkan masakan. Karena istrinya sudah semacam singa yang nggak makan 3 hari. Atau pekerjaan dapur dan rumah lainnya, yang biasanya dikerjakan sama perempuan, jadi lumrah dilakoni suami saya. Melihat istinya sibuk gendong bayi, 2 jam sekali minta nenen, belum lagi harus pumping untuk kejar stok ASIP.

2. Owww, baby blues syndrome, welcome to our life

Suatu hari saya minta suami ke kamar, kunci pintu lalu ngobrol intens. Usia Jordy waktu itu belum genap sebulan. Saya geram dengan beberapa perlakuan pasangan, seakan belum siap menjadi ayah. Tapi saya juga nggak bisa menyalahkan dia. Sebelum menikah kami tidak ada persiapakan khusus, perihal perubahan fisik dan psikis apa saja yang akan kami alami. Kami ngobrol 4 mata, saya mencurahkan apa saja yang saya nggak suka dari dia, dan mengharapkan apa saja sebagi ibu baru. Sebelumnya saya sudah curhat sama beberap sahabat yang lebih dulu jadi ibu. Kata mereka, kayaknya saya kena baby blues syndrome. Gejala-gejala yang mereka sebutkan, mirip dengan yang saya alami. Di antaranya bawaannya pingin nangis,  nggak tahu apa yang harus saya lakukan dengan bayi merah di depan saya. Setelah kordinasi dengan suami, keadaan jauh membaik. Setelah mendengar curhatan istrinya yang bawel, tapi demi kebaikan anak kami.

3. Suami setia menunggu “jatah”

Untuk yang satu ini, saya nggak punya permasalahan berarti. Karena suami bukan tipe yang terlalu demanding kalau memang situasi saya lebih nggak memungkinkan. Menunggu 40 hari selesai masa nifas? Nggak masalah buat dia. Wong, pas hamil trimester pertama, suami memilih nggak “menyentuh” saya sama sekali. Demi menjaga keselamatan janin yang saya kandung.

4. Keraguan itu akhirnya muncul

Melihat Jordy tidur pulas di kasur yang sama dengan kami, wajahnya yang polos, dan menggemaskan membuat pikiran kami melayang ke sekian tahun mendatang. Saya pernah nanya ke suami, “Kita bisa nemenin Jordy sampai usia dia berapa, ya?.” Duuuh, ini saya doing yang suka berpikir gini, atau mommies lainnya dan suami juga suka terbesit hal yang sama, ya? Terus mendapati kasus-kasus di luar sana yang melibatkan anak usia remaja. Tambah mikir, nanti bekal yang kami kasih sudah cukup kah buat Jordy jadi pribadi yang punya karakter dan nggak tergoda hal-hal yang negatif? Lalu, pada saatnya nanti dia dewasa dan harus bekerja, sanggupkah dia menjawab tantangan-tantangan di luar sana? Bersaing dengan jutaan manusia lainnya untuk menapaki karier pekerjaannya.

5. Suami pulang ngantor, dan mendapati…

Pas suami pulang ngantor, tubuh saya sedang bau ASI. Suami baru selesai mandi, saya udah minta tolong ini itu. Belum lagi kalau istrinya ini minta jenis makanan tertentu, suami harus siap siaga meladeni permintaan istrinya. Beruntung, ini hanya berlangsung 3 bulan, saat saya masih cuti bersalin. Ya maklum, ya, saat-saat seperti ini suami belum bisa mendapati istrinya dalam penampilan terbaik. Maunya saya sih gitu, tapi gimana dong, ini bayi “nemplok” melulu :D. Tantangan berikutnya akan berbeda. Waktu udah balik ngantor, saya harus lebih cepat sampai rumah, supaya Jordy bisa menyusui langsung.

Ada masanya saya dan suami letih luar biasa. Tapi kan ini doa yang kami minta, toh? Disegerakan punya keturunan, ya sudah hadapi saja konsekuensinya. Pas anak sudah beranjak besar, pasti deh kita bakalan kangen masa-masa dia bayi! Belum bisa lari-larian kelilingan rumah, ruang tamu dan kamar masih bisa rapih setiap saat :D Poinnya, setiap tahap pertumbuhan anak, punya tantangan yang beda juga. Enjoy the parenting phase mommies :)

 

Share Article

author

-

Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


COMMENTS