Sorry, we couldn't find any article matching ''
Maman Suherman: “Kini anak-anak punya dua kewarganegaraan”
“Anak-anak yang lahir era 80-an – 94, punya dua kerwarganegaraan. Warga Negara Indonesia, dan Warga Net.” – Maman Suherman
Pernyataan Kang Maman Suherman di atas, menggelitik saya untuk mengulik lebih lanjut. Apa maknanya? Apa yang coba Kang Maman Suherman sampaikan lewat kalimat tersebut, yang saya yakin sebagai Penulis, Konsultan Kreatif dan Penggiat Literasi, punya makna mendalam.
Apa yang Kang Maman sampaikan, pada peluncuran buku Menggapai Mentari di Jakarta beberapa waktu lalu, jadi mengingatkan saya dengan situasi yang kerap saya temui, atau juga mommies? Nggak jauh-jauh kok. Di kalangan pertemanan saya sendiri. Kalau kumpul, selain gelas kopi yang sigap akan sering disentuh. Ada satu lagi benda, yang hampir nggak pernah luput dalam genggaman teman-teman saya. Apalagi kalau bukan handphone. Saya gemas, dan bereaksi untuk minta tolong, menaruh sejenak gadget masing-masing, dan berinteraksi, saling cerita. Apapun itu. Karena buat apa menempuh perjalan jauh dari rumah masing-masing, kalau yang ditatap, lagi-lagi layar handphone?
Sungguh, saya lahir dan tumbuh di tengah era digital yang menyentuh hampir semua sisi kehidupan. Tak dipungkiri, saya adalah salah satu pelakunya. Lebih baik ketinggalan dompet, daripada handphone, dan itu baru saja terjadi beberapa waktu lalu :D. Bukannya apa-apa, sih. Handphone sudah menjadi alat utama untuk saya yang kerja di dunia digital media.
Ini lah salah satu gambaran yang Kang Maman sebut, generasi yang lahir 80-an – 94 sudah sangat akrab dengan digital dan internet (eheeem, termasuk saya nih :p). Nggak jarang, begitu lahir, si bayi merah sudah terekam apik dalam video. Sedari kecil, Kang Maman mengatakan, anak sudah akrab dengan gadget, dan bisa memainkan gadget. ”Dia sudah menjadi warga net dengan segala kelebihannya warga net. Tidak lagi punya batas negara. Kapan pun dia mau melihat dunia, bisa diakses dalam sekejap. Sehingga, tentu punya pengaruh terhadap kehidupan, dan cara pandang dia ke depannya. Bahkan pengaruhnya terhadap nasionalisme.”
Namun, Kang Maman mengingatkan. Jangan lantas mencibir atau berpraduga jelek dengan anak-anak yang juga menyandang warga net ini. Misalnya anak sekarang tidak sopan, kalau dipanggil tidak menatap, melainkan tetap menatap handphone-nya, dan telinganya menggunakan headset, atau menatap televisi. “Mereka tidak minta dilahirkan di era ini. Yang menemukan, internet dan perlengkapan untuk menggunakan internet, juga datang dari orangtuanya.”
Kang Maman berujar, justru pemahaman dari orangtua yang dibutuhkan. “Mereka bisa memberikan kebebasan dan gadget, tapi juga kemudian mereka tidak boleh melepas begitu saja. Mereka harus menemaninya. Mau ada atau tidak ada internet. Era digital atau tidak, ada tiga hal yang tidak pernah ditolak oleh anak kecil.”
Tiga hal yang sangat mendasar, dan saya menyebutkan sebagai investasi waktu, antara anak dan orangtua.
Namun, permasalahan klasik berikutnya pun muncul. Apa kita masih punya waktu untuk melakukan itu semua? Dari sekian banyak ibu yang pernah saya wawancara dan sukses di kariernya, rata-rata mereka menjawab, “Waktu untuk keluarga itu harus diciptakan, bukan hasil dari sisa.” Betul kata Kang Maman, anak harus merasa ditemani oleh orangtuanya, bukan oleh gadget yang diberikan. Karena gadget, bukan pengganti orangtua. Kang Maman khawatir, jika anak kekurangan tiga hal ini dari orangtuanya, anak di era manapun, akan sangat berjarak dengan orangtuanya.
Ketiga hal tersebut ibarat jembatan penghubung antara kita orangtua dengan buah hati. Seperti yang Kang Maman ungkapkan:
“Nggak boleh kita bangun sungai yang lebar, antara kita dengan anak. Tapi kita yang harus bangun jembatan keledai untuk menghubungi kita dengan anak-anak.”
Apa mommies sudah mendongeng dan bermain sama anak-anak hari ini?
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS