Ditulis oleh Prita Hapsari Ghozie, SE, Mcom, GCertFP,CFP®, QWP – Chief Financial Planner ZAP Finance.
Memberikan uang saku pada anak kadang membuat dilematis. Apakah anak SD sudah bisa dibekali uang saku? Bagaimana dengan anak SMP? Apa saja yang jadi pertimbangan saat kita memberikan uang saku pada anak-anak? Biar gimanakan, kebutuhan anak SD dan SMP tentu saja sudah jauh berbeda.
Mommies, ada yang punya anak yang bersekolah di bangku SD atau bahkan SMP? Nah, di usia 8-15 tahun ternyata anak sudah banyak yang meminta adanya uang saku khusus dari orangtua. Pemberian uang saku merupakan sarana anak untuk belajar mengelola keuangannya sejak dini. Namun, tetap saja ada beberapa pertimbangan yang sebaiknya diperhatikan. Apa saja daftarnya? Ini dia....
Faktor pertimbangannya adalah kebutuhan dasar anak + kebutuhan tambahan anak + keinginan anak. Maksudnya, jika anak tidak membawa bekal dari rumah, maka orang tua harus menghitung jumlah pembelian wajar selama jam sekolah dari mulai snack time, lunch time, hingga afternoon tea time. Terlebih jika anak juga ada tambahan les pelajaran mau pun after-school activities.
Setelah itu, barulah orang tua juga memperkirakan kebutuhan tambahan anak seperti jajan di akhir pekan dan lainnya. Sedangkan, keinginan adalah berbagai pembelian yang diinginkan anak, umumnya berjumlah cukup besar sehingga perlu dikumpulkan dulu uangnya.
Anda bisa mengajarkan untuk membagi uang saku menjadi 3 pos misalnya dengan persentase 50:40:10. Artinya setengah dari uang saku bebas dibelanjakan anak untuk jajan dan belanja, 40% dari uang saku sebaiknya ditabung untuk dana pembelian barang yang bernilai besar di kemudian hari dan 10% disisihkan untuk dana sosial seperti kotak amal mau pun sumbangan.
Hingga anak berusia 10 tahun, uang saku biasanya diberikan secara harian. Namun, diatas usia tersebut, ada baiknya mulai diberikan secara mingguan. Dengan konsep tersebut, anak akan belajar untuk membagi uang sakunya agar cukup memenuhi kebutuhannya selama periode tersebut. Ajarkan anak untuk menghadapi konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya.
Uang saku juga bisa menjadi metode yang tepat dalam mengajarkan konsep kewajiban dan hak. Misalnya, anak bisa mendapatkan uang saku tambahan ketika membantu pekerjaan rumah yang sesuai dengan usianya. Momen khusus seperti lebaran mau pun pembagian rapor sebagai insentif atas hasil usahanya. Misalnya, saat anak memperoleh prestasi gemilang di sekolah berkat ketekunannya belajar, maka ada tambahan uang saku yang diberikan.
Uang saku berbentuk tunai akan lebih mudah untuk dibelanjakan, namun lebih sulit untuk dicatat dan dievaluasi penggunaannya. Sedangkan, uang saku berbentuk kartu elektronik akan memudahkan orang tua untuk melakukan pengawasan. Hingga anak berusia 15 tahun, ada baiknya uang saku diberikan dalam bentuk tunai. Tetapi, ajak anak membuka tabungan atas nama sendiri untuk keperluan menabung.
Live a Beautiful Life!
Prita Hapsari Ghozie adalah seorang perencana keuangan independen, penulis buku laris “Cantik, Gaya, & Tetap Kaya” serta “Make It Happen,” pembicara, dosen dan ibu dari 2 orang anak. Sebagai Founder dan Chief Financial Planner di ZAP Finance – sebuah konsultan perencanaan keuangan independen di Indonesia. Berpengalaman lebih dari 8 tahun sebagai perencana keuangan dan didukung latar belakang edukasi di bidang keuangan, Prita memiliki kompetensi untuk memberikan saran dan rekomendasi dalam hal keuangan.