Sorry, we couldn't find any article matching ''
Keluarkan Pembully dari Sekolah, Tepatkah?
Para pelaku pembully di sebuah sekolah menengah sudah mendapatkan 'balasannya'. Mereka dikeluarkan dari sekolah. Pertanyaannya, tepatkah tindakan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya meminta pandangan dari Najellaa Shihab selaku psikolog yang sangat concern dengan dunia pendidikan.
Minggu terakhir ini, wall social media saya, khususnya Facebook sering kali dipenuhi oleh pemberitaan mengenai dua kasus bullying. Yang satu dilakukan oleh mahasiswa, satu lagi anak-anak remaja yang masih duduk di bangku SMP.
Ya, ya, ya…. siapa juga sih, yang nggak tahu berita soal ini? Ada beberapa hal yang menjadi concern saya dari kejadian ini...
Baca juga : Fenomena Bullying di Sekolah (I)
Pertama, menyebarkan berita tersebut, jelas tidak salah. Hanya saja yang bikin miris adalah ketika banyak orang dewasa khususnya yang sudah berstatus jadi ibu ikut menyebarluaskan video tersebut dengan caption yang…. umh, menurut saya, sih, cukup kasar. Setelah disebarluaskan, komentar yang masuk pun nggak kalah ‘menyeramkan’. Mungkin mereka lupa kalau hal tersebut sama saja dengan membully. Lalu apada bedanya kita dengan anak-anak SMP itu? Lagipula, saat kita menuliskan komen yang nggak enak dan cenderung kasar, apa pernah terlintas dalam pikiran kita, gimana kalau hal itu terjadi pada anak kita? Toh, kita memang nggak nggak pernah tahu seperti apa anak kita 20 tahun lagi ?
Buat saya, sih, baik si korban dan pelaku bullying bisa saja sama-sama korban. Mungkin, korban karena mereka tidak mendapat contoh kalau etika dan empati itu harus dimiliki dan diterapkan di lingkungan sosial. Bisa juga, korban karena memang sebelumnya banyak terpapar sikap kekerasan di lingkungan terdekatnya.
Benar nggak, sih?
Kedua, ketika mendengar kalau para pembully, dalam hal ini si anak SMP dikeluarkan dari sekolahnya. Mungkin saya yang terlalu 'baik' karena merasa hukuman dikeluarkan dari sekolah kok rasanya kurang tepat, ya? Saya sambil mbatin, saat mereka dikeluarkan dari sekolah, apa jadi jaminan itu akan mengubah sikap mereka menjadi lebih baik? Bagaimana kalau mereka malah dendam, atau semakin tidak terkontrol karena merasa bukannya dirangkul dan diberi bimbingan, namun malah 'dibuang' oleh institusi yang seharusnya mengarahkan mereka? Oleh para guru yang seharusnya membimbing mereka.
Kebetulan, kemarin saya datang ke peluncuran buku cerita Kitu, seri buku toleransi dan mengenal perbedaan yang akan saya review dalam waktu dekat, ya. Nah, setelah selesai acara saya sempat ngobrol dengan Mbak Najelaa Shihab, yang memang datang sebagai salah satu narasumber.
Ia pun menegaskan, bahwa sebenarnya pelaku dan korban bullying sama-sama korban. Untuk memutus mata rantai bullying ini tentu saja bukan dengan mengeluarkan anak dari sekolah. “Saya melihatnya, yang diperlukan adalah penanganan yang sistematis. Tapi kenyataannya yang terjadi itu sama saja seperti ‘pemadam kebakaran’. Telat, hanya berpikir bagaimana penanganannya, hukuman, sementara bagaimana pencegahan dan pembiasaan tidak dilakukan sejak dini. Baru teriak-teriak saat sudah terjadi. Seolah-olah bersikap tegas.”
Ia menambahkan, yang perlu diperhatikan adalah akar permasalahannya. Bagaimana budaya yang tercipta di sekolah, bagaimana hubungan kakak kelas dengan adik kelasnya? Bukan sema-mata hanya melihat korban dan pelaku saja. “Sayangnya kekerasan pada anak ini memang belum jadi prioritas, sedih sekali. Tapi memang ini kenyataannya.”
Baca juga : Anakku Korban Bullying, Tolong
Nggak bisa dipungkiri, kalau saat ini banyak dari kita yang hanya berpikir kalau masalah bullying ini yang perlu diperhatikan adalah korbannya. Bagaimana menyelamatkan mereka. Padahal tidak begitu, baik pelaku dan korban sama-sama butuh bantuan yang sistematis.
Penggagas Keluarga Kita ini juga menegaskan, kalau mengeluarkan pelaku dari sekolah jelas bukan jalan yang tepat. Toh, setelah dikeluarkan tidak akan ada jaminan kalau pelaku berhenti melakukan bullying di lingkungan yang berbeda. Korban pun demikian. “Padahal anak-anak ini masih mungkin, lho, jadi pelaku kekerasan dalam bentuk lain. Kalau memang masalahnya tidak tertangani. Si korban ini pun masih mungkin jadi korban dari hal lainnya. Di sekolah pun sama saja. Perundungan tetap saja bisa terjadi kalau memang tidak ada perbaikan dari lingkungannya sendiri.”
Di akhir sesi obrolan kami, Mbak Najellaa juga bilang kalau kita semua sering lupa kalau pendidikan itu marathon. Tidak bisa mengharapkan salah satu pihak saja. Semua harus terlibat. Artinya, nggak ada salahnya kalau kita sama-sama saling mengingatkan bukan? Ya, mulai saja dari lingkungan yang kecil lebih dulu.
Selain itu, masalah bullying ini juga sebenarnya tidak terlepas dari bagaimana kita mencegahnya lebih dulu dengan melakukan pembiasaan pada anak. Bukan hanya semata-mata memberikan penindakan dan hukuman semata.
Share Article
COMMENTS