Ditulis oleh: Dona Kamal
Jika terkondisikan harus mengencangkan ikat pinggang, coba deh 4 tips berikut ini.
Terbiasa punya penghasilan sendiri yang hampir 75 persennya bisa saya gunakan untuk kepentingan pribadi, ternyata bisa bikin terlena, ya. Jadi ceritanya, cita-cita saya dan suami untuk membeli rumah insyaAllah sebentar lagi terwujud nih. Kami membeli rumah seorang teman di sebuah komplek di pinggiran Bandung. Harganya? Ohh tentu saja mahal dan tidak mampu kami bayar cash. Oleh karena itu, satu-satunya solusi adalah dengan mengajukan pinjaman kredit ke bank.
Image: www.usa-bad-credit-loans.com
Awalnya sih kami berencana untuk mengajukan pinjaman KTA. Kenapa KTA? Karena dana yang kami punya nggak cukup untuk dijadikan DP untuk pinjaman KPR. Tapi setelah dibanding-bandingkan, OMG ternyata pinjaman KTA ini bunganya gila-gilaan ya! Cicilan sebulannya hampir setengah dari gaji saya, duh! Akhirnya setelah timbang sana timbang sini, pikir sana pikir sini, akhirnya saya dan suami sepakat untuk mengajukan pinjaman KPR alih-alih KTA. Namun syaratnya tentu saja, kami harus memiliki dana cash sekitar 20 persen dari harga rumah plus biaya administrasi, pajak, dll, yang jika ditotal jumlahnya bisa lebih dari Rp 100 juta!!
Pusing? Pastinyaaa! Gimana ngga pusing coba, kalau tabungan saya dan suami ngga ada setengah dari total dana cash yang harus tersedia. Duh, repot memang, tapi karena sudah niat banget untuk beli rumah tahun ini, maka saya dan suami pun bergerilya mencari receh demi receh dari rekening kami yang banyak itu (tapi nggak ada isinya). Saya sampai rela ngga gajian 2 bulan karena seluruh gaji saya ikhlaskan untuk menutupi syarat 20% self financing dari pihak bank.
Jadi, gimana rasanya dua bulan nggak gajian? Yahh, selama 2 bulan dan seterusnya inilah sepertinya saya harus benar-benar mengencangkan ikat pinggang. Kabar baiknya, walaupun harus mengencangkan ikat pinggang dan "nggak gajian" sementara waktu, kami baik-baik aja lho! Ya, saya baik-baik saja, karena toh selama hampir 9 tahun menjadi anak rantau di Yogya, saya terbiasa hidup "seadanya". Jadi selama program mengencangkan ikat pinggang ini, hal-hal inilah yang saya dan suami lakukan untuk meminimalisir pengeluaran tidak perlu:
Dulu setiap weekend adalah saatnya makan di luar. Niatnya sih sebagai sarana refreshing, biar nggak bosen aja makan di rumah terus. Tapi setelah dicermati lagi ternyata makan di resto atau cafe di Bandung ini jadi sumber pemborosan deh menurut saya dan suami. Sekali makan, per orang bisa menghabiskan rata-rata Rp 100 ribu, sementara setiap acara makan di luar ini kami pasti mengajak bapak dan ibu saya untuk ikut. Jadi total pengeluaran untuk sekali makan di luar ini bisa sampai Rp 500 ribu. Nah, uang segitu lumayan banget kan kalau buat belanja bahan makanan di tukang sayur, bisa untuk berapa hari tuh!
Jika sebelumnya setiap jam makan siang di kantor saya selalu makan di luar dengan teman-teman, makan di resto, cafe, foodcourt mall, hingga kantin makan, maka atas nama penghematan saya mulai membawa bekal makan siang ke kantor. Ini juga lumayan banget hematnya. Dari yang biasanya bisa mengeluarkan Rp 20-50 ribu sekali makan, dengan membawa bekal sendiri Rp 20-50 ribu tadi bisa dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih penting. Selain itu, dengan bawa bekal sendiri kita jadi lebih memperhatikan asupan yang kita makan. Sehat di badan, sehat di kantong!
Di Bandung sudah banyak taman-taman yang menarik untuk dikunjungi dan ramah anak. Taman-taman ini gratis dan bisa dikunjungi kapan saja. Nah, daripada tiap weekend wisata ke tempat-tempat wisata yang jauh-jauh dan berbayar, atau wisata keliling dari mall ke mall yang ujung-ujungnya belanja barang-barang yang sebenarnya gak perlu, kenapa nggak manfaatkan aja taman-taman tematik yang bertebaran di Bandung.
Nah, satu ini biasanya yang kerap jadi racun buat ibu-ibu. Window shopping di sini bukan hanya window shopping di mall ya, tapi termasuk juga window shopping di online shop yang bertebaran di medsos kita. Biasanya makin sering kita wira-wiri di medsos liat barang-barang jualan yang melambai-lambai minta dibeli, ujung-ujungnya terpancing juga untuk beli, atau minimal kepikiran pengen beli, hahhaha. Untuk menjaga kesehatan kantong dan kewarasan pikiran maka saya benar-benar menahan diri untuk tidak sering-sering buka medsos.
Itu empat poin utama yang saya dan suami lakukan dalam rangka menghemat pengeluaran. Sebenarnya selain empat poin itu, ada beberapa hal-hal kecil yang juga kami lakukan, seperti memilih olahraga yang tanpa biaya, memilih moda transportasi yang lebih ekonomis, dan sebagainya. Intinya berhemat sebenarnya bukan hal yang terlalu sulit untuk dilakukan jika kita paham tentang skala prioritas dari setiap kegiatan dan kebutuhan dalam rumah tangga.