Sorry, we couldn't find any article matching ''
5 Pertanyaan “Basi” yang Nggak Usah Ditanya ke Ibu yang Kembali Bekerja Usai Cuti Bersalin
Hindari mengajukan 5 pertanyaan ini, kalau mommies nggak mau dapat tatapan sinis dari ibu yang kembali bekerja usai cuti bersalin.
Cuti bersalin yang pernah saya lalui, 3 bulan rasanya kok nggak cukup, ya! hahaha. Rasanya pingin banget sampai minimal, 6 bulan deh. Secara kualitas ASI eksklusif juga bisa terjaga dengan baik. Meski begitu, tetap disyukuri, karena ternyata ada, lho beberapa negara dengan cuti bersalin yang buruk. Di salah satu negara Timur Tengah, tepatnya Oman, hak cuti bersalin hanya 40 hari *___*
Image: www.management-issues.com
Setelah cuti bersalin selesai, saatnya kembali bekerja! Antara senang, excited dan udah pasti sedih, meninggalkan si kecil di rumah bersama orangtua saya. Rasa sedih bisa saya atasi dengan baik, mengingat yang merawat anak pertama, saya, Jordy, adalah orangtua saya sendiri. Yang nggak bisa saya tahan, adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan ajaib dari rekan-rekan kantor atau orang lain seputar kembalinya saya bekerja.
Ada aja tuh, orang-orang yang nggak nyaring dulu pertanyaannya, terus ditanyakan tanpa ada rasa nggak enak. Saya rangkum beberapa di antaranya, ya, mommies. Supaya mommies juga nggak ikut-ikutan nanyain pertanyaan yang sama, ke ibu yang baru aja balik kerja usia cuti bersalin.
1.“Eh, gimana rasanya ninggalin anak, sedih nggak? Trus si kecil sama siapa?”
Nganaaa pikir??? Ya sedihlah, tapi kan show must go on. Ini pilihan yang saya buat, jadi ibu bekerja. Karena dari awal sudah mantap, lahir batin, rasa sedih yang cuma selewat aja. Kalau terus diratapi, secara hubungan batin, saya meyakini bakalan nyambung ke Jordy. Kasihan Mama saya, nanti, kalau Jordy rewel terus.
2.“Nggak mau resign, aja? Kan kasihan anaknya”
Nih, lagi, pertanyaan ajaib sih menurut saya. Namanya bali kerja usia melahirkan, minimal si ibu udah tahu risiko yang dihadapi ibu bekerja. Kasih pertanyaan semacam ini, sama aja menurunkan semangat kerja. Jadi, dukung aja dengan pertanyaan suportif, seperti, “Kamu dan anak kamu sehat, kan?”.
3. “Kapan, nih, mau punya anak kedua?”
Rasanya pingin langsung bilang, “Situ mau kasih biaya sekolahnya nanti?”. Belum hilang tuh, ingatan gimana sakitnya rasa kontraksi. Apalagi saya, yang harus diinduksi, dan berujung operasi caesar. Kasih ruang dulu, lah, sama si ibu untuk menikmati masa-masa menjadi ibu. Pertanyaan semacam ini, nanti aja ditanyainnya, pas anak pertama si ibu udah 3 tahun ke atas, oke...oke...?
4. “Asi-nya keluar banyak nggak? Apa campur sufor?”
Ngerti sih, tujuannya mau support supaya si kecil mendapat ASI eksklusif. Tapi ya, tolong pertanyaannya jangan jadi mengintimidasi gitu, dong ah, mbak! Bisa kan diganti dengan, “Eh kamu tahu nggak, ada komunitas khusus pejuang ASI, lho!” Mau itu campur sufor atau ASI eksklusif, kan hak si orangtua. Yang kita bisa lakukan, hanya sebatas memberikan dukungan moril dan bantu cari informasi berimbang tentang pemberian ASI eksklusif.
5. “Kemarin, lahirannya normal apa caesar?”
Pertanyaan semacam ini, menurut saya udah harus dibuang jauh-jauh, deh. Fokusnya bisa nggak sama kesehatan ibu dan anak, aja? Mau itu normal atau caesar, tujuannya kan sama: Anak terlahir dalam keadaan sempurna dan sehat, lalu ibu juga sehat walafiat. Dalam kasus saya yang alami, pas udah dijawab “Lahirannya, normal yang berujung caesar!”, terus pertanyaannya beranak, “Lho, kok bisa?” Model yang begini nih, minta banget dihapus dari daftar teman yang baik :p. Serius deh, apapun metode kelahirannya, pertanyaan semacam ini akan akan mengorek rasa sakit ibu ketika melahirkan. Belum lagi kalau kasusnya khas seperti saya, yang awalnya PD melahirkan normal, tapi karena ada satu dan lain hal, harus mengalami operasi caesar.
Ada yang mau menambahkan mommies?
Share Article
COMMENTS