Bukan maksud mau mengeluh, tapi beberapa waktu lalu ada seorang teman yang bertanya mengapa anaknya tidak ekspresif. Terlihat terlalu ‘lempeng’, dan nggak ekspresif gitu….
Ah, kalau ngomongin masalah anak ekspresif, saya rasa anak saya, Bumi, cukup jago. Hahahaa… mungkin karena dari dulu saya sudah banyak melakukan wawancanca dengan psikolog anak, ya. Jadi pesan dan teorinya banyak yang nempel di otak dan berusaha saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini pun berlaku dalam hal bagaimana pentingnya mengajarkan anak untuk bisa ekspresif, dalam artian mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan. Seperti yang diungkapkan Mbak Vera Itabiliana, selaku psikolog anak dan remaja, “Anak memang idelanya bisa mengekspresikan emosi yang yang ia rasakan, tapi tentu saja lewat cara yang tepat. Di sini tentu saja tugas kita sebagai orangtua untuk terus melatihnya.”
Kenapa anak harus ekpresif, bisa mengungkapkan emosi yang ia rasakahan? Seperti yang dijelaskan Mbak Vera, ketika anak tidak bisa mengekspresikan apa yang ia rasa, emosi tersebut tentu saja bisa membebani anak. Perasaan tersebut akan terasa terus ada dan sulit untuk hilang apabila tidak diutarakan atau dilampiaskan dengan cara yang tepat.
“Kalau anak nggak bisa ngomong, orang lain tentu nggak bisa bantu bagaimana menyalurkan emosinya dengan cara yang cepat. Misalnya, ketika anak marah, kalau tidak diutarakan dan dilampiaskan dengan cara yang tepat, emosi tersebut akan terus ada”.
Tapi kita sebagai orangtua memang perlu mamahami lebih dulu bagaimana tipe anak tersebut. Biar gimana kan, tipe anak memang berbeda-beda, ada yang ekpresinya terbatas, tapi ada juga anak yang sangat ekspresif dengan apa yang mereka rasakan.
Oleh karena itulah Mbak Vera mengingatkan agar kita, para orangtua perlu melatih anak untuk bisa mengekspresikan perasaanya. Perlu diperhatikan juga, bahwa perkembangan emosi seorang anak akan berkembang sesuai usianya. Sebelum anak mampu mengekspresikan apa yang mereka rasa, anak lebih dulu perlu belajar mengetahui berbagai emosi.
“Anak perlu tahu, perasan yang mereka rasakan itu apa, sih, namanya?”
Kapan perlu dilatih? Tentu saja sejak dini, dimulai ketika anak masih bayi saat mereka sedang tertawa kita bisa memberitahukannya ‘Eh, kamu ketawa… lagi senang ya, nak? Cara ini pun bisa menambah tabungan kosa kata anak.
“Kalau memang anak sedang nggak suka terhadap sesuatu kasih tahu saja, oh… kamu lagi kesal, ya? Marah kenapa? Ya, bilang saja aku marah. Pada awalnya anak akan mengalami tantrum, saat kesal bisa melempar barang, karena memang mereka belum mampu untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan secara verbal. Tapi, lama kelamaan perlu dilatih. Lama kelamaan ajarkan anak untuk mengekspresikan perasaannya.Kemudian, setelah lancar bicara ajak anak mulai diskusi, apa penyebabnya bagaimana menyalurkannya emosi tersebut,” papar Mbak Vera.
“Memang apa, sih, akibatnya kalau anak terlalu lempeng? Semacam nggak bisa mengekspresikan apa yang dia rasa?” tanya saya lagi pada Mbak Vera.
“Anak terlalu ‘lempeng’ tentu saja akan sulit mengekspresikan apa yang yang ia rasa. Anak pun jadi tidak bisa ‘hangat’ dengan orang lain. Kondisi ini mau nggak mau akan mengganggu interaksinya dengan orang lain. Padahal, saat kita melatih anak untuk bisa mengekspresikan apa yangia rasakan, tentu saja akan berkembang pembicaraannya lewat diskusi.”
Selain dengan sengaja mengajarkan anak untuk bisa ekspresif, tentu saja kita sebagai orangtua perlu menjadi contoh yang kongkrit. Mbak Vera juga mengingatkan, ada kunci yang perlu diajarkan pada anak-anak saat mereka mengekspresikan emosinya. Pertama, nggak boleh menyakiti diri sendiri, kedua tidak boleh sampai menyakiti orang lain dan yang terakhir jangan sampai merusak barang.
Jadi, siapa bilang mengajarkan anak untuk bisa ekpresif itu nggak penting?