Ditulis oleh: Amanda Santoso
Setiap hari, kami para pejuang kanker, selalu menantang segala ketidakmungkinan.
Saya percaya semua individu yang bersilangan langkah dengan kita sedikit banyak memiliki peran dalam hidup kita. Buat saya, salah satu pribadi yang banyak memberikan kontribusi positif dalam pola pikir saya adalah, Fine. “That one friend” yang selalu menebarkan aura positif.
Dua tahun lalu Fine didiagnosis mengidap kanker payudara. Masih lekat dalam ingatan, obrolan kami di grup. Berawal dari pertanyaan “Biasa pada cek payudara tahunan di mana, sih?” lantas beberapa waktu kemudian berlanjut pada kabar yang mengejutkan. Belum hilang keterkejutan kami, muncul berita lainnya … setelah menunggu 9 tahun, Fine hamil. Ya, ia hamil di tengah perjuangannya melawan kanker. Simak obrolan saya dengannya berikut ini.
Boleh cerita nggak, Fin, awal tahu kondisi sekarang ini gimana? Apa yang membuat Fine memeriksakan diri?
Waktu itu saya merasakan benjolan di payudara kiri. Tidak sakit dan benjolannya juga tidak terlihat. Lalu saya melakukan Deteksi Dini Kanker di RS Dharmais. Di sana saya menjalani SADARI dan pemeriksaan USG. Waktu ambil hasil periksa, saya merasa ada yang tidak beres. Prosedur penyerahan hasil pemeriksaan saya dan pasien sebelumnya berbeda. Pasien sebelumnya hanya diberikan hasil dan diingatkan untuk memeriksakan diri kembali tahun depan. Sedangkan waktu giliran saya, petugas meminta saya menunggu dan menyerahkan hasil pemeriksaan ke ruang konsultasi dokter.
Dokter sembari baca hasil USG ia berkata, “Ini hasilnya ada tumor sebesar sekian. Ganas. Di keluarga nggak ada riwayat tumor? Duh, kamu masih muda banget. Jadi, mau dilakukan tindakan di sini atau di RS lain?” Saya hanya terdiam, berusaha mencerna kata-kata dokter. Saya bilang, saya butuh diskusi dengan suami dan keluarga.
Beberapa hari kemudian, ditemani suami, saya konsultasi ke dokter spesialis bedah onkologi (Sp.B Onk) dan dirujuk melakukan pemeriksaan mammografi dan FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy). Hasil FNAB menunjukkan bahwa yes, it is cancer!
Kalau tidak segera ditangani, saya hanya punya waktu hidup 6 bulan. Dokter menyarankan saya untuk menjalani kemoterapi. Jika setuju, maka setelah perawatan selesai saya tidak disarankan hamil selama minimal 5 tahun. Ini paling sulit saya terima karena sejak menikah pada 2007 lalu kami belum dikaruniai keturunan.
Dua hari saya mengurung diri di kamar. I was on my lowest point. Air mata tidak berhenti mengalir. Kenapa saya? Apa salah saya? Jawaban yang saya dapat adalah … “Kenapa tidak?” Saya yakinkan diri untuk selalu berprasangka baik pada Allah. Janji-Nya adalah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya. Berarti saya dinilai sanggup.
Treatment apa yang kemudian dijalani? Kenapa pilih treatment tersebut?
Suami selalu mengingatkan bahwa kita harus berusaha untuk mencapai keinginan sembuh melalui doa yang tak putus dan kesungguhan ikhtiar, serta istiqomah menjalankan keduanya. Sisanya, serahkan pada Allah.
Saya pun giat mengumpulkan informasi mengenai beragam tindakan perawatan yang bisa jadi pertimbangan. Salah satu yang menjadi pilihan adalah ECCT (Electrical Capacitance Cancer Theraphy), alat pembunuh sel kanker yang ditemukan oleh Dr. Warsito P Taruno. Fungsi ECCT sebenarnya mirip dengan kemoterapi, yakni mematikan sel kanker. Sel kanker yang telah mati, kemudian akan dibuang dari dalam tubuh melalui urin, feses atau keringat.
Sebenarnya ECCT bukan barang baru buat saya. Empat bulan sebelumnya, ibu mertua divonis tumor otak, namun karena usia yang sudah sepuh dan riwayat penyakit lainnya maka operasi bukanlah pilihan. Dokter hanya menyarankan agar kami meningkatkan kualitas hidup beliau. Saat itulah kami “belajar” mengenai ECCT. Walaupun masih menjadi kontroversi, akhirnya kami memutuskan ECCT bagi ibu dan saya.
Pada kasus saya rencana kami adalah mematikan sel kanker dengan ECCT, apabila ada kendala pada pembuangan sel kanker yang sudah mati (karena metabolisme saya yang kurang baik), maka operasi akan menjadi opsi pembuangan.
Apa yang berubah dalam hidup saat vonis kanker dikatakan oleh dokter?
Dalam Al Quran dijelaskan bahwa tiap musibah yang menimpa kita disebabkan oleh perbuatan kita sendiri. Sehingga buat saya, penyakit ini adalah teguran akibat kelalaian saya. Jika saya ingin sembuh dan hidup lebih lama, ada empat hal yang saya sadari harus diubah.
Pertama body, saya dilahirkan dalam keadaan sehat dan organ tubuh berfungsi sempurna. Saya kurang bersyukur. Bersyukur artinya merawat, memelihara, dan memanfaatkan. Tubuh harusnya dirawat dengan baik, tidak diforsir aktivitas berlebihan. Saya harus mengurangi lembur atau begadang. Saatnya istirahat, ya, istirahat.
Kita juga harus memerhatikan asupan, sehingga apa yang masuk ke dalam tubuh dapat menjadikan saya sehat. Kalau sudah terlanjur begini, yang tidak baik untuk dikonsumsi harus ditinggalkan, bukan justru “memberi makan” sel kanker. Saat ini saya menghindari makanan seperti makanan kaleng dan berlemak, daging merah (daging dari hewan berkaki empat) dan turunannya, seafood kecuali ikan, makanan/minuman fermentasi dan makanan yang mengandung 6P (pewarna, pengawet, perasa, penyedap, pemanis, pengenyal). Pernah cheating? Pernah. Biasanya karena sudah kepengen banget.
Kedua adalah mind. PR besar, nih. Harus belajar menangani stres, mood dan perilaku. Susah sekali menghindari stres dan emosi. Harus banyak belajar sabar dan ikhlas. Forgive and forget. Bikin hati happy terus, dan belajar jadi individu berakhlak mulia. Susah, tapi harus diupayakan terus. Insya Allah kalau hati gembira dan ikhlas, yang sulit menjadi mudah dan jadi lupa kalau sedang sakit.
Ketiga adalah soul. Saya harus lebih mendekatkan diri pada-Nya, lebih taat dan kusyu’ beribadah, lebih sering menyebut nama-Nya, lebih banyak melantunkan doa, memohon diampuni dosa-dosa, serta memupuk jiwa dengan iman.
Terakhir, spirit. Selama jantung masih berdetak, selama itu pula perjuangan harus tetap dilakukan. Tapi namanya manusia, tentu ada saat di mana saya down. Kadang kalau ada kabar duka yang datang dari sahabat sesama pejuang kanker, hati ini jadi galau. Di saat semangat mengendur, dukungan dari keluarga dan orang-orang di sekitar serta sahabat seperjuangan tentu sangat dibutuhkan.
Pertama kali tahu hamil? Kenapa curiga hamil?
Siklus haid saya normal tiap bulannya. Waktu itu load kerja lagi penuh-penuhnya. Seminggu bisa 2-3 kali keluar kota. Sempat lupa, tuh, kalau belum haid. Tapi, kok, suka pusing dan mual. Suami menyarankan untuk beli test pack. Waktu mau tes, saya ragu dan takut kecewa lagi (dengan hasilnya). Ternyata hasilnya dua garis pada dua alat periksa berbeda. Selama 9 tahun menikah, baru kali itu saya melihat dua garis di tes kehamilan!
Saya dan suami berpandangan. Malam itu langsunglah cek ke dokter dan ternyata usia kandungan sudah 6 minggu, detak jantung pun juga sudah terdeteksi. Suara terindah yang pernah saya dengar.
Untuk periksa kehamilan, perlu ke obgyn khusus?
Memilih dokter kandungan sama seperti memilih jodoh, harus cari yang benar-benar cocok. Apalagi kehamilan saya termasuk yang berisiko tinggi. Dokter yang dicari harus cukup nyaman untuk saya curhat mengenai kondisi saya, termasuk soal pilihan yang saya ambil.
(Banyak pemberitaan di media soal ECCT. Banyak ditentang orang-orang yang berprofesi di bidang medis. Para pengguna ECCT sering mendapat perlakuan kurang enak)
Proses pencarian mempertemukan kami dengan 4 dokter kandungan. Salah satunya menyarankan agar kehamilan tidak dilanjutkan. Tentu bukan pilihan. Apa pun risikonya, saya harus memberikan kesempatan pada janin saya. Alhamdulillah saya menemukan kecocokan pada dr. Achmad Mediana Sp.OG dan tim. Mereka sangat menghargai tiap keputusan, menyemangati, melayani dengan ramah serta memberikan perhatian khusus.
Perbedaan kondisi tubuh sebelum dan pada saat hamil? Apakah ada dampak ke janin?
Awal kehamilan berjalan mulus. Saya bahkan tidak mengalami morning sickness. Banyak yang bilang saya tidak seperti orang hamil karena kondisi tubuh sangat prima.
Pada trimester tiga, saya merasakan perjuangan berat. Tumor di payudara membesar berkali-kali lipat. Jangan tanya sakitnya. LUAR BIASA. Kadang sakit disertai keluarnya cairan kecoklatan atau bahkan darah. Saya pernah dilarikan ke UGD karena perdarahan hebat. HB turun menjadi 8 (normalnya di atas 12) dan harus mendapat tranfusi 3 kantung.
Selama hamil, saya hampir tidak pernah terapi dengan ECCT karena khawatir dapat berdampak ke janin. Plus, rompi ECCT tidak muat lagi karena tubuh membesar. Alhamdulillah, janin berkembang baik. Dr. Achmad wanti-wanti kalau saya merasa tidak sanggup, maka persalinan dapat dipercepat.
Jika persalinan harus dipercepat maka usia yang tepat adalah 37 minggu. Jika kurang dari itu, butuh waktu 2 x 24 jam untuk memberikan suntikan penguat paru-paru bagi janin.
Setelah istikharah, saya memutuskan untuk melakukan persalinan di usia kehamilan 36 minggu .Pertimbangannya adalah sakit yang tidak tertahankan bisa memicu kontraksi dini dan dapat mempengaruhi keselamatan janin. Kalaupun sanggup menunggu, bisa jadi janin sudah stres karena merasakan beban yang tengah ditanggung ibunya atau bahkan berebutan makanan dan nutrisi dengan sel kanker.
Persalinan SC berjalan dengan lancar. Anak kami lahir dalam keadaan sempurna dan sehat. Kami menamakannya Satriyo karena ia adalah pejuang tangguh. Saya pun bersyukur dapat memberikan ASI kepada bayi kami, walaupun hanya dari satu payudara. Hasil konsultasi dengan konselor laktasi, kondisi kanker saya bukan penghalang pemberian ASI. Jadi, perjuangan “naik kelas” … lanjut ke memberikan ASI dengan kondisi khusus.
Wow. Sebagai orang yang cukup banyak menyaksikan perjuangan lo, gue salut banget. Semoga diberikan kesembuhan oleh Allah SWT, ya, Fin.
Setiap hari, kami para pejuang kanker, selalu menantang segala ketidakmungkinan. Ketidakmungkinan untuk bangun-berdiri-berjalan. Ketidakmungkinan untuk hamil dan melahirkan. Ketidakmungkinan untuk hidup lebih lama. Ketidakmungkinan untuk sembuh. Tapi, harus ingat, harapan akan selalu ada.